Ahad 29 Oct 2023 16:00 WIB

Sejarah Perang 1967 antara Negara-Negara Arab dan Israel

Pada 1967 terjadi perang antara negara Arab dengan Israel.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Suasana perang 1967 antara Israel dan negara-negara Arab.
Foto: Anadolu Agency
Suasana perang 1967 antara Israel dan negara-negara Arab.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Hari Ahad 5 Juni 1967 menandai peringatan perang di tahun tersebut, yang berlangsung selama 6 hari. Meski 6 hari, dampaknya masih terus berlanjut. Orang-orang Arab menyebut perang ini sebagai "Naksah Haziiron" (Kemunduran Bulan Juni) atau Harbul Ayyaamil Sittah (Perang Enam Hari).

Selama perang, terjadi bentrokan militer antara Israel di satu sisi, dan Mesir, Suriah, Yordania, dan Irak di sisi lain. Dengan bantuan teknis dari Lebanon, Aljazair, Arab Saudi, dan Kuwait.

Baca Juga

Masalah Palestina merupakan elemen penting dalam konflik Arab-Israel, yang diwujudkan dalam perang ini. Karena, wilayah Palestina yang tidak diduduki oleh Israel pada tahun 1948 tunduk pada dua pemerintahan Arab pada saat itu.

Pertama yaitu pemerintahan Mesir yang bertanggung jawab atas Jalur Gaza, dan kedua ialah Yordania, yang bertanggung jawab atas Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.

Saat ini, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang didirikan pada tahun 1964, beroperasi dari kamp pengungsi di negara-negara diaspora, khususnya di Suriah, Lebanon dan Yordania, dan memimpin operasi komando melawan Israel.

Menurut tulisan cendekiawan Palestina Azmi Bishara, Israel telah menduduki tiga kali lipat wilayah tersebut sejak awal perang yang terjadi pada tahun 1967. Pendudukan Israel kala itu berlangsung dalam waktu 6 hari.

Luas tanah yang diduduki Israel di wilayah bersejarah Palestina pada tahun 1948 berjumlah sekitar 77 persen atau sekitar 20 ribu kilometer persegi dari total luas wilayahnya yang mencapai 27 ribu kilometer persegi.

Penyebab Perang

Sumber sejarah dan politik menyebutkan bahwa tingkat militer Israel mempunyai peran yang menentukan dalam pengambilan keputusan perang tahun 1967, sekaligus menyingkirkan peran Perdana Menteri saat itu, Levi Eshkol.

Perang ini, yang diadopsi oleh militer Israel, terjadi dalam rangka rencana ekspansionis Israel di wilayah tersebut, yang direncanakan sebelum tahun 1967, dan mempelajari implementasinya dengan meluncurkan operasi militer di negara-negara Arab.

Namun di sisi lain, narasi Israel mengklaim bahwa tentara memulai pertempuran untuk tujuan defensif, setelah menilai adanya niat ofensif Arab yang akan menimbulkan ancaman nyata terhadap mereka.

Pihak militer Israel memberikan tekanan untuk melancarkan perang ini, dengan membenarkan perang tersebut karena beberapa alasan, sebagai berikut:

1. Keputusan mantan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, pada Mei 1967, menutup Selat Tiran untuk navigasi maritim Israel.

2. Pada bulan Mei 1967, pimpinan Mesir meminta penarikan pasukan PBB dari Sinai dan mobilisasi tentara Mesir dalam jumlah besar di wilayah tersebut.

3. Upaya persenjataan Mesir sejak berakhirnya perang tahun 1956, dan dukungannya terhadap Organisasi Pembebasan Palestina.

4. Kembalinya ketegangan di front Yordania pada tahun 1966 menyusul terbunuhnya tiga tentara Israel dalam ledakan ranjau, yang mendorong Israel melancarkan serangan keras di desa Al-Samoui, di bagian utara Tepi Barat, yang menyebabkan kematian 50 warga Yordania.

5. Serangan gerilya Suriah terhadap koloni Israel.

Pecahnya Perang

Pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan langsung terhadap angkatan udara Mesir, Suriah, Irak, dan Yordania. Serangan pertama bertujuan untuk menyingkirkan Angkatan Udara Arab dari pertempuran tersebut, dan untuk memastikan monopoli Israel atas wilayah udara Arab untuk melancarkan serangan terhadap pasukan darat dan pangkalan militer.

Akibat serangan ini, angkatan udara di negara-negara tersebut hancur, dan tentara Israel melanjutkan rencananya ke tahap kedua, yaitu mengebom lokasi artileri Mesir, Suriah, dan Yordania.

Penghancuran lokasi artileri dilakukan untuk menghalau kemajuan militer Arab, di front Arab mana pun yang berdekatan dengannya, selain keinginan Israel untuk menghilangkan senjata berat dan strategis yang dimiliki tentara Arab dari pertempuran tersebut. Selama perang, tentara Israel juga menghancurkan platform senjata anti-pesawat milik tentara Mesir, Suriah, dan Yordania.

Menurut para penulis Israel, lusinan pesawat militer Israel ikut melancarkan serangan intensif terhadap pangkalan udara di negara-negara Arab. Target pertama adalah Mesir. Pesawat militer Israel pertama-tama menargetkan landasan pacu bandara, kemudian pembom jarak jauh, dan jet tempur, dan yang terakhir yang menjadi sasaran adalah rudal, radar, dan instalasi teknis.

Menurut Michael Oren, seorang sejarawan Israel, Israel menjatuhkan bom seberat 180 pon di pangkalan udara di negara-negara Arab, yang masing-masing meninggalkan lubang sedalam 1,6 meter dan lebar 5 meter, serta berisi bahan peledak yang terus meledak, untuk mengebom pangkalan.

Oren mengatakan, Israel menjatuhkan sekitar 100 bom di satu pangkalan di Mesir. Lebih dari setengah jam setelah dimulainya perang, menurut Oren, Mesir kehilangan sekitar 204 pesawat militer akibat serangan berturut-turut.

Selama enam hari, serangan terus berlanjut terhadap negara-negara Arab, di mana Israel, menurut studi sejarah, menghancurkan sekitar 70 hingga 80 persen peralatan militer Arab, sementara sekitar 2 hingga 5 persen peralatan militernya rusak.

Penyebab Kekalahan Arab

Menurut Departemen Diplomasi dan Kebijakan Publik yang berafiliasi dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), kekalahan Arab dalam perang tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Hal yang paling menonjol adalah sebagai berikut:

1. Israel menggunakan unsur kejutan untuk menyerang pasukan Arab, yang menyebabkan negara Arab kehilangan keseimbangan dan menimbulkan kerugian besar di kalangan pasukannya.

2. Keunggulan militer Israel, khususnya di angkatan udara, turut membantunya menguasai medan perang di berbagai lini.

3. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa mendukung Israel secara militer dan ekonomi.

Para penulis Arab juga menambahkan alasan-alasan tersebut atas kesalahan perhitungan Arab mengenai adanya niat ofensif dari pihak Israel. Juga tidak adanya rencana penarikan pasukan yang terorganisir dan kolektif, untuk melindungi tentara dari keruntuhan.

Setelah Perang

Diperkirakan bahwa antara 15 hingga 25 ribu orang Arab terbunuh selama Perang Enam Hari pada tahun 1967. Sekitar 45 ribu orang terluka, sementara sekitar 650 hingga 800 orang Israel terbunuh, dan dua ribu orang terluka.

Selama enam hari perang, Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai Mesir, dan Dataran Tinggi Golan Suriah. Menurut statistik Palestina, kemunduran tersebut mengakibatkan sekitar 300 ribu warga Palestina mengungsi dari Tepi Barat dan Gaza. Kebanyakan dari mereka mengungsi ke Yordania.

Catatan sejarah menyebutkan, Israel menjarah wilayah yang didudukinya pada tahun 1967, dan mengeksploitasi sumber daya air dan ekonomi mereka, yang berkontribusi dalam mendukung perekonomiannya. Wilayah yang diduduki Israel selama perang juga mewakili keuntungan strategis yang penting pada tingkat pertahanan. Ini karena wilayah tersebut membentuk penghalang alami untuk melindungi keamanan mereka dari serangan Arab atau Palestina.

Terkait pendudukan Yerusalem Timur, ini merupakan peristiwa sejarah dan keagamaan Israel yang membantunya memperluas kendali atas apa yang mereka sebut "Yerusalem Besar", yang meliputi Yerusalem Barat dan Timur, untuk pertama kalinya sejak awal terjadinya konflik Palestina-Israel.

Permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Akibat Perang Enam Hari ini, Israel merancang proyek perluasan pemukiman ke Tepi Barat dan Gaza, serta menetapkan prinsip kekuatan dengan menguasai wilayah Palestina dan menjarah sumber daya alamnya.

Pada tahun 1979, Israel menarik diri dari Semenanjung Sinai, berdasarkan perjanjian damai dengan Mesir saat itu. Lalu pada tahun 1994, Israel mencapai perjanjian damai dengan Yordania, yang dengannya kesepakatan dicapai untuk mengembalikan wilayah Al-Ghamr ke Tel Aviv, yang terletak di gurun Wadi Araba di Kegubernuran Aqaba (selatan Yordania), seluas sekitar empat kilometer persegi, yang pernah diduduki selama perang tahun 1967.

Namun Israel masih menduduki sisa wilayah Arab, yaitu Tepi Barat, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan Suriah. Pada tahun 1991, Konferensi Perdamaian Madrid diluncurkan, di bawah naungan pemerintahan Amerika, berdasarkan prinsip "solusi dua negara".

Konferensi itu menyerukan pembentukan negara Palestina merdeka di wilayah Palestina yang diduduki Israel pada tahun 1967, yaitu Tepi Barat dan Gaza. Pada tahun 2002, negara-negara Arab mengadopsi inisiatif yang diluncurkan oleh Arab Saudi, yang dikenal sebagai Inisiatif Perdamaian Arab.

Inisiatif tersebut mengusulkan pembentukan hubungan normal antara negara-negara Arab dan Israel, jika negara tersebut menarik diri dari wilayah Arab yang diduduki sejak tahun 1967 dan menerima pembentukan perjanjian tentang negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sambil mencari solusi yang adil terhadap permasalahan pengungsi.

Namun, proses perdamaian itu tersendat dan tidak selesai karena Israel menolak prinsip "solusi dua negara". Israel juga menolak Inisiatif Perdamaian Arab. Israel tidak mau menarik diri dari wilayah Tepi Barat (luas sekitar 5.860 km), di mana saat ini terdapat lebih dari setengah juta pemukim Israel.

Di Jalur Gaza (sekitar 360 km), Israel memang sudah menarik diri dari wilayah Gaza tetapi mereka tetap mengepungnya dan menguasai perbatasan darat, laut, dan udara.

Sumber

https://www.aa.com.tr/ar/%D8%A5%D8%B3%D8%B1%D8%A7%D8%A6%D9%8A%D9%84/%D8%AD%D8%B1%D8%A8-1967-%D8%AD%D9%82%D8%A7%D8%A6%D9%82-%D9%88%D8%A3%D8%B1%D9%82%D8%A7%D9%85-%D8%A5%D8%B7%D8%A7%D8%B1/2605955

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement