REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Pada 1892, Palestina ketika itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Ottoman atau Utsmani yang dipimpin Sultan Abdul Hamid. Sekelompok Yahudi Rusia datang menghadap sang raja untuk memohon diizinkan tinggal di Palestina. Permintaan itu ditolak mentah-mentah.
Pada 1896, Theodore Herzl, seorang jurnalis berdarah Yahudi Austria menulis buku fenomenal berjudul Der Judenstaat (Negeri Yahudi). Pemikiran-pemikiran Herzl yang dituangkan di dalam buku tersebut membuatnya dihadiahi gelar sebagai bapak Zionisme modern.
Dengan begitu, Herzl memberikan gagasan besar bagaimana melakukan segala cara dalam merebut tanah Palestina untuk dijadikan negara Israel.
Salah satu cara adalah dengan memenuhi tanah Palestina dengan orang Yahudi dari seluruh penjuru dunia. Gerakan ini jelas memicu gelombang migrasi besar (eksodus modern) para Yahudi (Khazar) masuk dan bermukim di Palestina.
Untuk mendukung gerakan ini, maka digagas propaganda ke seluruh dunia bahwa bangsa Yahudi berhak atas tanah Palestina karena sudah dijanjikan Tuhan kepada Nabi Ibrahim.
Dengan modal besar dan jaringan media yang dikuasai, mereka menerbitkan banyak tulisan ilmiah mengenai 'hak sejarah' bangsa Yahudi atas tanah Palestina.
Kelak, intervensi mereka pun masuk ke Injil baru milik umat Nasrani. Modusnya adalah dengan menyusupkan sarjana untuk menyisipkan ayat-ayat Tanah Terjanji (the Promised Land) di Perjanjian Baru.
"Di tahun itu pula, Herzl nekat menemui kembali Sultan Abdul Hamid untuk meminta izin mendirikan bangunan di Al Quds (Yerusalem). Berbagai bujuk rayu dilakukan Hertzl agar Sultan mengizinkan orang-orang Yahudi mendirikan negara Israel di Palestina," (Nubuat Petaka Akhir Zaman karya Afred Suci, penerbit Wahyu Qolbu, halaman 42)
Tawarannya cukup menggoda, jika Sultan bersedia, maka para pemilik modal Yahudi di seluruh Eropa akan memulihkan keuangan Turki Utsmani yang memang sedang terjepit ketika itu.
Baca juga: Alquran Bolehkan Nepotisme dari Kisah Nabi Musa Tunjuk Nabi Harun Asisten? Ini Kata Pakar
Herzl paham benar bahwa untuk menguasai dan meminta Palestina bagi penduduk Yahudi, dia harus melakukan perundingan dan negosiasi dengan Sultan Abdul Hamid sebagai Khalifah Utsmani yang menguasai wilayah Palestina. Dan untuk itu, dia melobi sahabat dan teman koalisi Turki Utsmani, Kaisar Wilhelm di Jerman.
Sesudah Kaisar Wilhelm dapat ditaklukan dengan kekuatan lobi dan kemampuan public relation Zionis, maka Herzl mendekati Sultan Abdul Hamid untuk meminta Palestina dengan berbagai imbalan yang diberikan.
Herzl datang sendiri datang mengunjungi Sultan Abdul Hamid II untuk merayu dan membuat lobi. Namun Sultan Abdul Hamid menolak keras bujuk rayu Herzl agar Turki menyerahkan wilayah Palestina.
Bahkan Sultan Abdul Hamid II dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak akan menjual tanah (Palestina) meski hanya selangkah sekalipun. Karena menurut Sultan, tanah tersebut bukanlah miliknya, melainkan milik rakyatnya.
"Rakyatku telah mendirikan kesultanan ini lewat perjuangan dengan darah mereka dan menyuburkan tanah ini dengan darah mereka. Kami juga akan menyelimutinya dengan darah kami sebelum kami membiarkannya dirampas," (Membongkar Rencana Israel Raya karya Herry Nurdi, penerbit Cakrawala Publishing, halaman 18).