Ketika berdakwah pada kaumnya, Ibrahim mendapat petunjuk untuk terlebih dahulu bertanya kepada bapaknya, Azar yang sedang berkumpul bersama kaumnya tentang patung-patung yang mereka buat dan mereka sembah dengan tekun.
Pertanyaan itu mengandung arti Azar dan kaumnya seharusnya menggunakan akal pikiran mereka untuk merenungkan bahwa benda-benda tersebut tidak patut disembah, karena tidak mempunyai sifat-sifat sebagai Tuhan yang layak untuk disembah. Mereka menyembah barang-barang yang dicipta, bukan pencipta, serta tidak dapat mendatangkan manfaat untuk dirinya, apalagi untuk orang lain.
Lalu, Azar dan kaumnya menjawab pertanyaan Ibrahim dengan pernyataan mereka menyembah patung hanyalah sekadar mengikuti perbuatan nenek moyang mereka. Jawaban tersebut menunjukkan berbagai kelemahan. Pertama, mereka tidak dapat menjawab pertanyaan Ibrahim dengan menggunakan alasan-alasan masuk akal yang didasarkan kebenaran.
Kedua, mereka dalam hidup beragama hanya didasarkan rasa ta‘assub (fanatik) kepada tradisi nenek moyang, bukan berdasarkan keyakinan dan pemikiran yang sehat. Ketiga, mereka menutup diri terhadap hal-hal yang berbeda dari kebiasaan mereka walaupun nyata kebenarannya.
Setelah Ibrahim menjelaskan apa yang mereka lakukan tidak benar dan masih membangah Ibrahim. Dia pun menjelaskan mengenai kebenaran Allah SWT.
Namun, kaumnya tetap menolak kebenaran tauhid tersebut. Sehingga Ibrahim bertekad untuk menghancurkan patung-patung berhala itu. Hasutan pun bermunculan bahwa Ibrahim yang sebenarnya menghancurkan patung. Kaumnya marah dan hendak membakar Ibrahim.
Raja Namruz mendengar hal ini dan menyuruh membakar Nabi Ibrahim. Akhirnya. Nabi Ibrahim bersama istrinya yang bernama Sarah dan saudara laki-lakinya yang bernama Lut meninggalkan kota Ur, berhijrah ke Harran dan kemudian ke Palestina.