REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Jafar bin Abi Thalib adalah seorang sahabat sekaligus bertalian saudara dengan Rasulullah SAW. Fisik dan akhlak sahabat yang satu ini mirip dengan Nabi Muhammad SAW dan ia sangat mencintai Rasulullah.
Jika Rasulullah mendapat gelar umat terbaik dan tersaleh, Jafar bin Abi Thalib diberi gelar oleh Rasulullah sebagai “Bapak si Miskin” dan juga bergelar “Si bersayap dua di Surga”. Bahkan, ada juga menggelarinya “Si Burung Surga”.
Namun, saat terjadi perang Mut’ah pada tahun ke-8 Hijriah, Jafar gugur sebagai syuhada bersama dua pahlawan Islam lainnya. Rasulullah pun menetekan air mata.
Dalam buku “Jafar bin Abi Thalib: Jasmani Maupun Perangainya Mirip Rasulullah” karya Astry Islam dijelaskan, perang Mu’ah bertujuan untuk membalas perbuatan gubernur Butra yang bernama Amir bin Syurahbil.
Gubernur ini telah membunuh utusan Nabi yang ditugaskan untuk mengiris surat ajakan masuk Islam. Utusan tersebut bernama Haris bin Umair.
Dalam perang ini, pasukan muslimin hanya berjumlah 3000 orang sedangkan pasukan musuh diperkirakan berjumlah 200 riu orang. Suatu perbandingan yang terlalu mencolok.
Kekuatan musuh terdiri dari musyrikin Arab dan bangsa Romawi. Kaisar Heraklius yang telah menyiapkan kekuatan sedemikian rupa menganggap enteng pertempuran yang akan berkobar itu.
Tiga panglima Islam yang berjuang dalam perang itu adalah Zaid bin Haritsah, Jafar bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Panji pertama diserahkan kepada Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur Panji Islam harus dipegang oleh Jafar bin Abi Thalib, dan jika Jafar bin Abi Thalib gugur, Panji Islam harus dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.
Jafar menyadari bahwa peperangan yang akan dihadapinya bukan main-main. Pilihan baginya hanya dua, yaitu mati sebagai Syuhada atau menang dan menjadi pahlawan. Akan tetapi, jiwanya sangat merindukan mati Syahid, sehingga terus melanjutkan perjuangannya.
Pasukan Islam bergerak menuju Sirya. Di dalamnya ada Jafar bin Abi Thalid. Pada waktu yang bersejarah itu, kedua pasukan akan bertemu di medan tempur. Tidak lama kemudian pecahlah perang yang jumlahnya tak seimbang.
Di tengah gemuruhnya suara derap kaki dan debu mengepul ke angkasa terdengarlah suara membahana. Suaranya meninggi berusaha mengalahkan gemuruhnya derap peperangan. Ternyata yang sedang berdendang itu adalah Jafar bin Abi Thalib.
“Wahai surga yang kudambakan mendiaminya!
Harum semerbak baunya, sejuk segar air minumnya.
Tentara Romawi telah menghampiri liang kuburnya.
Terhalang jauh dari sanak keluarganya.
Kewajibankulah menghantamnya kala menjumpainya!”.
Tentara Romawi terpukau menyaksikan gerakan Jafar bin Abi Thalib. Ia bergerak seakan-akan sepasukan tentara. Setiap musuh yang mendekati ditebasnya dengan cepat. Namun, musuh mengepungnya ketat hingga Jafar kewalahan.
Jafar bin Abi Thalib tidak diberi kesempatan untuk bernafas. Panji Islam tetap dipegang dengan erat sementara pedangnya terus bergerak kian kemari.
Setelah terpoj, musuh menebas tangan kanannya sampai putus. Sebelum Panji Islam jatuh ke tanah, langsung disambar oleh tangan kirinya.
Musuh kemudian menebas tangan kirinya. Dengan cepat , Panji Islam dikepit dengan pangkal lengan ke dadanya. Darah mengucur dari sekujur tubuhnya, tetapi dia tidak mengaduh. Wajahnya tetap tenang sebab detik-detik ini sudah dinantikan sejak lama.
Jafar bin Abi Thalib tak akan menyerahkan Panji Islam jatuh ke tangan musuh kecuali kalau dia telah gugur. Di waktu jasadnya telah kaku, Panji Islam masih tetap dikepitnya di dada.
Kibaran bendera Islam itu seakan-akan melambai kepada Abdullah bin Rawahah agar segera datang menjemputnya. Akhirnya, Abdullah bin Rawahah pun datang mengambil Panji Islam untuk dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Setelah mengetahui kabar mai syahidnya Jafar bin Abi Thalib, Rasulullah pun menitikkan air mata. Perjalanan sejarah yang ditulisnya dengan darah dan air mata menandakan kebesaran jiwa sebagai muslim yang taat serta patuh pada ajaran Allah serta Rasul-Nya.