REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meminta sumbangan masjid di jalan raya seakan sudah menjadi tradisi di Indonesia. Umat Islam di Indonesia sudah biasa menawarkan kepada pengguna jalan untuk mensedekahkan sebagian hartanya untuk pembangunan masjid.
Namun, mungkin ada juga sebagian kecil umat Islam yang meminta sumbangan sampai mengganggu pengguna jalan. Lalu, bagaimana hukumnya jika aktivitas itu mengganggu pengguna jalan lain?
Jawabannya bisa didapatkan dari penjelasan Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Afifuddin Muhajir dalam Halaqah Fiqih Peradaban jilid II di Aula Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo pada 4 Oktober 2023.
"Minta sumbangan di jalan itu sudah menjadi kebiasaan, apakah berarti legal?” ujar Kiai Afif saat menyampaikan materi.
Orang yang meminta sumbangan masjid di jalan raya tersebut bisa saja menggunakan kaidah Al Adatu Muhakkamah, yang artinya kebiasaan itu menjadi acuan hukum. Namun, menurut Kiai Afif, kaidah tersebut masih ada lanjutannya.
“Tapi ada terusannya, Mal Lam Yukhalif As-Syar'a, sepanjang kebiasaan itu tidak bertentangan dengan syariat,” ucap Kiai Afif.
Maka, kaidah fikih tersebut menjadi "Adatu Muhakkamah Ma Lam Yukhalif As-Syar'a". Artinya, tradisi itu diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat.
Sementara, menurut Kiai Afif, mengganggu orang lain di jalan itu bertentangan dengan syariat. Karena itu, haram hukumnya meminta sumbangan masjid jika sampai mengganggu pengguna jalan.
“Kalau menganggu orang di jalan bertentangan dengan syariat, oleh karena itu tidak boleh dijalankan,” kata Kiai Afif.
Maka, menurut dia, NU perlu mengeluarkan fatwa terkait meminta sumbangan masjid di jalan raya.
“Jalan keluarnya harus ada fatwa, termasuk dari NU bahwa itu haram. Oleh karena itu harus dihentikan. Jalan keluarnya harus ada fatwa dan fatwanya sudah ada,” jelas ulama ahli ushul fikih ini.