REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Umat Islam di Indonesia dihadapkan pada dua fatwa dengan adanya perbedaan fatwa penggunaan karmin dalam beberapa produk makanan dan minuman serta kosmetik. Karena, ada dua fatwa yang dikeluarkan terkait hukum karmin.
Berdasarkan hasil kajian Komisi fatwa, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memfatwakan bahwa pewarna makanan karmin yang berasal dari serangga Cochineal aman dan halal digunakan. Sementara, hasil fatwa LBM PWNU Jawa Timur menyatakan bahwa karmin najis dan haram dikonsumsi.
Lalu bagaimana LBM PBNU Pusat merespons adanya perbedaan fatwa ini? Dan bagaimana umat menyikapinya?
Merespons hal itu, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Nyai Hj Ala'i Najib menjelaskan bahwa dalam soal fikih atau hukum Islam lazim adanya perbedaan pendapat.
Menurut dia, dalam keputusan LBM NU Jatim dijelaskan bahwa tidak bolehnya penggunaan Karmin untuk selain konsumsi misalnya pada lispstik adalah karena barang tersebut dihukumi najis. Demikian pendapat mayoritas kalangan Syafi’iyan.
“Adapun yang mengganggapnya suci karena merujuk pada pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Qaffal. Hal tersebut karena serangga sebagai bahan dasar karmin tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa busuk,” ujar Nyai Ala’i saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (28/9/2023).
Untuk menyikapi adanya perbedaan fatwa ini, menurut dia, maka umat Islam harus membekali dengan pengetahuan. Jika tidak bisa, maka bisa mengikuti fatwa ulama yang dipercayai kealimannya.
“Karena ‘fatwa’ itu tidak mengikat, yang dilakukan umat Islam adalah membekali dengan pengetahuan yang layak sebelum memutuskan ikut yang mana. Kalau belum punya ikutlah ulama yang kita percaya kealimannya, keotoritatifannya,” ucap dia.
Sedangkan warga Nahdliyin sendiri, menurut dia, tentunya harus mengikuti apa yang difatwakan oleh organisasi.
“Dalam hal ketaatan dan komitmen kepada organisasi tentu saja orang NU ikut keputusan ulama NU,” kata Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.