REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar tahun 2017, penulis pernah melakukan penelusuran sejarah kekejaman PKI yang melakukan pembantaian warga Kedung Kopi di Kota Solo, Jawa Tengah. Dalam serangkaian peristiwa itu, terdapat kisah tentang pembunuhan sadis yang dilakukan PKI terhadap Ali Imron, seorang kader pemuda Muhammadiyah.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memunculkan kembali hasil liputan tujuh tahun lalu itu, dengan beberapa revisi penulisan, dengan maksud agar kita tidak melupakan sejarah tentang betapa kejam dan biadabnya PKI sehingga selalu waspada terhadap kekuatan yang berupaya membangkitkan PKI kembali di Tanah Air.
(Waktu itu) Air Sungai Bengawan Solo yang tampak keruh mengalir tenang ke arah selatan. Di sisi Bengawan Solo, tepatnya di Kedung Kopi, Kelurahan Pucang Sawit, Surakarta, terlihat gersang karena didominasi bebatuan. Bebatuan itu berada antara turap yang sedang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Solo dan bibir sungai. Pemerintah Kota Solo memang sedang mengerjakan proyek pembangunan tanggul di sepanjang bantaran Bengawan Solo.
Sekilas tidak ada yang aneh dari bebatuan di lokasi itu. Namun jika diperhatikan dengan seksama ada sebuah batuan yang terukir lambang Pancasila. Di bagian bawah lambang itu, terlihat pelat berwarna hitam mengkilat. Di pelat itu tertulis: Cagar Budaya, Monumen Perisai Pancasila.
Lokasi itu menjadi cagar budaya yang ditetapkan pada November 2012. Lima tahun setelah penetapan cagar budaya tersebut, Monumen Perisai Pancasila tampak kotor tak terawat. Bagian sisinya penuh dengan lumut, bahkan tulisan Solo dan tanggal peristiwa pembantaian nyaris tidak terbaca.
Monumen itu dibuat sebagai pengingat peristiwa pembantaian 13 orang di Kedung Kopi pada 22 Oktober 1965 atau lebih dari tiga pekan setelah peristiwa G30S. Di lokasi itu, yang sebelumnya berupa pulau, pada 23 Oktober 1965, sebanyak 13 mayat ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Peristiwa penemuan mayat ini dikenal sebagai Peristiwa Kedung Kopi.
Lihat halaman berikutnya >>>
Halaman 2 / 5
Cerita warga sekitar, Kedung Kopi mulanya adalah sebuah pulau kecil di tengah Sungai Bengawan Solo. Pulau itu dikelilingi air sungai atau orang Jawa menyebutnya Kedung. Nama Kedung Kopi sudah ada sejak masa penjajahan Belanda karena lokasi itu dijadikan tempat angkut muat komoditas kopi.
Di tempat tersebut juga terdapat rumah gubuk tempat beristirahat dan sebuah makam yang diyakini warga sekitar merupakan makam orang Belanda.
Sekitar 1970an, pemerintah melakukan pelurusan aliran sungai. Pulau itu pun terkena dampak, yaitu menyatu dengan daratan kampung sekitar. Seiring waktu, banyak hunian warga berdiri. Namun pada 1990an, pemerintah melakukan penertiban hunian di bantaran Sungai Bengawan Solo.
Aktivis Sosial Kelurahan Pucang Sawit Budi Utama mengatakan meski lokasi tersebut menjadi cagar budaya dan mempunyai cerita sejarah namun sangat jarang orang berkunjung. Bahkan, dia mengatakan, tak satupun lembaga pendidikan yang mengajak siswa-siswanya datang ke tempat itu, untuk mengingat dan mempelajari sejarah.
“Saya khawatir, kalau Bengawan Solo banjir, monumen bisa terkikis dan hancur. Ini kan sedang ada proyek pembangunan tanggul, kemungkinan nanti akan dipindah,” kata dia, beberapa waktu lalu.
Lihat halaman berikutnya >>>
Halaman 3 / 5
Untuk memahami latar belakang pendirian Monumen Perisai Pancasila di Kedung Kopi, Republika berkunjung ke Kelurahan Sewu. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Pucang Sawit dan tak jauh dari Monumen Perisai Pancasila.
Di Kelurahan Sewu inilah kisah pembantaian Kedung Kopi bermula. Tidak hanya itu, ada dua cerita pembantaian lain yang terkait, yakni pembantaian Bundaran Gladak dan pembantaian Purwoloyo.
Tokoh masyarakat Kelurahan Sewu, sekaligus saksi sejarah, Sudewo (64 tahun), mengatakan, Kelurahan Sewu merupakan basis aktivis-aktivis yang menentang PKI. Banyak anak muda di wilayah tersebut menjadi kader Muhammadiyah dan melakukan penentangan terhadap PKI. Pada 22 Oktober 1965, warga mendapat kabar tentang kedatangan Resimen Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Solo.
Sudewo menjelaskan aktivis, yang di antaranya merupakan kader-kader Muhammadiyah, pergi ke pusat kota untuk menanti RPKAD. Di Gladak Solo, para aktivis bertemu dengan pasukan Batalyon K, atau ada juga yang menyebut Batalion 444. Sudewo mengatakan, Batalyon K atau 444 pro terhadap PKI.
Dia menceritakan Batalyon K berupaya menghalau aktivitas aktivis berkerumun di Gladak. Tidak hanya dengan tindakan persuasi, para aktivis ini juga dihujani tembakan sehingga mereka lari kocar kacir. Pada peristiwa itu, sembilan orang aktivis mati diberondong peluru.
“Setelah dari kota itu, ada yang berhasil lari. Ayah saya pulang kembali ke Sewu tapi sudah ada Pemuda Rakyat yang mencegat di pertigaan,” kata Sudewo mengisahkan pengalaman ayahnya.
Di Sewu, Pemuda Rakyat yang merupakan sayap pemuda PKI menghadang dan menangkap warga Sewu yang lolos dari berondongan tembakan. Kala itu, menurut Sudewo, ayahnya berhasil lolos dari cegatan Pemuda Rakyat. Namun, ada beberapa aktivis dari Kampung Sewu yang tak kembali setelah itu.
Mereka adalah Munawir, Sumiwo, Ali Imron (aktivis Muhammadiyah), Joko Sasono, Permadi, Saranto, dan Sutiman Dempo. Bersamaan dengan itu, sejumlah orang juga hilang. Mereka yakni Letnan 2 Suyanto, satu orang warga Pucang Sawit (tak diketahui namanya), dan enam orang lainnya dari beberapa kelurahan di Solo.
Pada 23 Oktober 1965, tepat pukul 03.00 WIB, warga digegerkan dengan penemuan mayat di Kedung Kopi. Dia menuturkan 13 mayat yang ditemukan saat itu adalah orang-orang yang menghilang setelah peristiwa Gladak. Kala itu, Kedung Kopi juga sudah penuh dengan pasukan RPKAD.
“Jenazah yang ditemukan di Kedung Kopi itu hancur tengkoraknya. Setelah itu, keluarga-keluarganya dipanggil RPKAD, ditanyai kenal tidak,” kata dia.
Lihat halaman berikutnya >>>
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook