Untuk memahami latar belakang pendirian Monumen Perisai Pancasila di Kedung Kopi, Republika berkunjung ke Kelurahan Sewu. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Pucang Sawit dan tak jauh dari Monumen Perisai Pancasila.
Di Kelurahan Sewu inilah kisah pembantaian Kedung Kopi bermula. Tidak hanya itu, ada dua cerita pembantaian lain yang terkait, yakni pembantaian Bundaran Gladak dan pembantaian Purwoloyo.
Tokoh masyarakat Kelurahan Sewu, sekaligus saksi sejarah, Sudewo (64 tahun), mengatakan, Kelurahan Sewu merupakan basis aktivis-aktivis yang menentang PKI. Banyak anak muda di wilayah tersebut menjadi kader Muhammadiyah dan melakukan penentangan terhadap PKI. Pada 22 Oktober 1965, warga mendapat kabar tentang kedatangan Resimen Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Solo.
Sudewo menjelaskan aktivis, yang di antaranya merupakan kader-kader Muhammadiyah, pergi ke pusat kota untuk menanti RPKAD. Di Gladak Solo, para aktivis bertemu dengan pasukan Batalyon K, atau ada juga yang menyebut Batalion 444. Sudewo mengatakan, Batalyon K atau 444 pro terhadap PKI.
Dia menceritakan Batalyon K berupaya menghalau aktivitas aktivis berkerumun di Gladak. Tidak hanya dengan tindakan persuasi, para aktivis ini juga dihujani tembakan sehingga mereka lari kocar kacir. Pada peristiwa itu, sembilan orang aktivis mati diberondong peluru.
“Setelah dari kota itu, ada yang berhasil lari. Ayah saya pulang kembali ke Sewu tapi sudah ada Pemuda Rakyat yang mencegat di pertigaan,” kata Sudewo mengisahkan pengalaman ayahnya.
Di Sewu, Pemuda Rakyat yang merupakan sayap pemuda PKI menghadang dan menangkap warga Sewu yang lolos dari berondongan tembakan. Kala itu, menurut Sudewo, ayahnya berhasil lolos dari cegatan Pemuda Rakyat. Namun, ada beberapa aktivis dari Kampung Sewu yang tak kembali setelah itu.
Mereka adalah Munawir, Sumiwo, Ali Imron (aktivis Muhammadiyah), Joko Sasono, Permadi, Saranto, dan Sutiman Dempo. Bersamaan dengan itu, sejumlah orang juga hilang. Mereka yakni Letnan 2 Suyanto, satu orang warga Pucang Sawit (tak diketahui namanya), dan enam orang lainnya dari beberapa kelurahan di Solo.
Pada 23 Oktober 1965, tepat pukul 03.00 WIB, warga digegerkan dengan penemuan mayat di Kedung Kopi. Dia menuturkan 13 mayat yang ditemukan saat itu adalah orang-orang yang menghilang setelah peristiwa Gladak. Kala itu, Kedung Kopi juga sudah penuh dengan pasukan RPKAD.
“Jenazah yang ditemukan di Kedung Kopi itu hancur tengkoraknya. Setelah itu, keluarga-keluarganya dipanggil RPKAD, ditanyai kenal tidak,” kata dia.
Lihat halaman berikutnya >>>