Sabtu 23 Sep 2023 16:29 WIB

Buku Muhammad Sang Negarawan Diluncurkan di IBF, Bahas Politik Islam

Buku Muhammad Sang Negarawan menginspirasi kita tentang teladan sang Nabi.

Rep: Santi Sopia/ Red: Erdy Nasrul
Bedah buku Muhammad sang Negarawan di Islamic Book Fair Jakarta
Foto: Santi Sopia/Republika
Bedah buku Muhammad sang Negarawan di Islamic Book Fair Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Buku Muhammad Sang Negarawan karya Drs Tohir Bawazir diluncurkan di Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan, GBK, Jakarta, Sabtu (22/9/2023). Tohir yang juga direktur Pustaka Al-Kautsar itu mengatakan buku tersebut berisikan tentang keteladanan sosok Nabi Muhammad SAW dalam sejarah kepemimpinannya atau dikenal dengan istilah politik di zaman sekarang.

“Kadang-kadang kita belajar politik dari tokoh luar negeri, Maxwell, di mana tujuan politik kadang menghalalkan segala cara, yang dipakai di barat semua halal,” kata Tohir dalam sesi talkshow peluncuran buku tersebut.

Baca Juga

Tohir menjelaskan padahal Islam memiliki kaidah atau aturan main dalam berpolitik, antara lain yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Sebelum Muhammad menjadi rasul, beliau sudah dijuluki sebagai Al-Amin artinya begitu dipercaya oleh masyarakat.

Begitu surat Al-Alaq turun, masyarakat Makkah kemudian terbelah ke dalam beberapa varian. Ada setidaknya sembilan karakteristik masyarakat Arab menyikapi Islam yang dibawa Rasulullah SAW.

Ada yang percaya terhadap Rasul, tapi ada juga yang ragu-ragu. Kemudian ada yang istiqomah, munafik, hingga menjadi musuh.

Beberapa yang menolak ajaran Nabi bukan bermasalah dengan pribadi Nabi. Masyarakat tidak pernah mempersoalkan pribadi Nabi karena perilaku yang sempurna.

“Ya begitu-begitu saja sembilan model manusia cuma pelaku bisa berganti-ganti di zaman nabi dan di zaman sekarang sama saja, beda pelaku politik saja,” lanjut dia.

Kemudian Tohir mengatakan ada 20 karakteristik Nabi selaku negarawan yang teladan dan diulas dalam buku ini. Seorang wujud pemimpin, menurut Tohir, akan terbaca ketika dirinya mengalami kemenangan maupun kekalahan, misalnya dalam perang. Kemudian cara mereka bernegosiasi dan sebagainya.

Dalam buku ini juga lebih banyak dibahas perang Uhud karena memberi pesan bahwa di balik kekalahan itu sangat tersimpan banyak hikmah. Buku ini tidak terlalu banyak menyinggung Perang Badar yang memberi kemenangan pada pasukan Rasulullah terhadap kaum kafir Quraisy, meskipun tak seimbang. 

Hikmah di balik kekalahan perang uhud adalah muncul orang-orang munafik, yahudi, kafir yang menghina Nabi. Padahal Nabi tidak permah menyalahkan umatnya.

Jadi, kekalahan itu penting dalam memberikan pelajaran bagi kaum Muslimin. Bahkan Rasul juga pernah keliru dalam sholat-nya, sehingga  Allah memberi petunjuk tentang menghadapi itu.

“Kalau senang, menang terus kita gak belajar bagaimana menghadapi kesulitan, jadi di kehidupan nabi ada enak dan gak enaknya. Bahkan solat nabi pernah keliru, ada cara menghadapinya, kalau nabi gak pernah keliru, kita nanya ke siapa wong Nabi gak pernah salah,” ujar Tohir.

Nabi juga dikenal sangat suka bermusyawarah, padahal wahyu tetap turun. Jadi ada mekanisme bertukar pikiran sehingga semua gagasan diterima. Itulah salah satu wujud pemimpin harus mendengar masukan.

Dalam buku ini juga diungkap bagaimana Islam memandang kekuasaan bukan sebagai kenikmatan tetapi amanah. Para sahabat Rasulullah, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab juga merupakan seorang pemimpin, sehingga jabatan politik itu dianggap luar biasa dalam Islam.

“Insya Allah kalau menerapkan politik Islami jaminannya syurga paling atas, tapi kalau zolim neraka paling bawah,” kata dia menambahkan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement