REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Fenomena parade sound system tengah menjamur di sejumlah daerah di Jawa Timur. Di Malang misalnya alih-alih menghibur, justru banyak warga geram karena efek suara musik yang sangat keras dari parade sound system itu tak hanya mengganggu pendengaran warga, bahkan efeknya membuat kaca jendela, genteng, hingga atap rumah warga banyak yang rusak. Bahkan di beberapa lokasi, rombongan parade sound system merusak pagar warga karena truk yang digunakan mengangkut berbagai perangkat suara itu tak dapat lewat.
Lalu bagaimana fenomena ini dalam pandangan Islam? Apakah membuat kebisingan hingga mengganggu tetangga juga diatur dalam Islam?
Tentunya ajaran Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia. Termasuk berkaitan dengan bagaimana seorang Muslim berhubungan dengan tetangga. Setiap Muslim diperintahkan untuk memuliakan dan berbuat baik kepada tetangganya. Sebab itu merupakan tanda orang beriman.
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia memuliakan tetangganya.” (HR. Muslim, no. 74/47)
Oleh karena itu, seorang Muslim seyogianya menghadirkan keamanan, kenyamanan bagi tetangganya. Tidak boleh seorang Muslim mengganggu tetangganya bahkan sekedar dengan suara bising sekalipun.
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذي جاره
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia mengganggu tetangganya”. (HR. Al-Bukhari, no. 6475; Muslim, no. 75/74).
Menyetel musik atau bahkan dengan menggunakan sound system sah-sah saja dan diperbolehkan asalkan suara atau kebisingannya masih dapat ditolelir atau dianggap wajar terlebih oleh tetangga sekitar. Artinya suara yang ditimbulkan tidak berlebihan sehingga mengganggu tetangga. Kasus ini sebagaimana persoalan ketika ada orang yang membaca Alquran sedang disampingnya ada orang yang sedang shalat. Menurut Syekh Muhammad Mahfud bin Abdullah at Termasi dalam kitab Hasyiyah at Tarmasi al Musammah al Manhalul ‘Amim bi Hasyiyati Manhajil Qawim wa Mauhubah Dzil Fadl ‘ala Sayrhi Muqaddimah Ba Fadl menjelaskan bahwa bila suara orang yang membaca Alquran itu mengganggu orang yang shalat maka haram hukumnya.
وَيَحْرُمُ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ الْجَهْرُ فِي الصَّلَاةِ وَخَارِجِهَا إنْ شَوَّشَ عَلَى غَيْرِهِ مِنْ نَحْوِ مُصَلٍّ أَوْ قَارِئٍ أَوْ نَائِمٍ لِلضَّرَرِ
Artinya, “Diharamkan bagi semua orang untuk mengeraskan (bacaan) dalam shalat dan di luar shalat, jika bisa mengganggu pada orang lain, mulai dari orang shalat, orang yang membaca Al-Qur’an, dan orang tidur, karena hal itu berbahaya (mengganggu).” (Lihat Hasyiyah at Tarmasi al Musammah al Manhalul ‘Amim bi Hasyiyati Manhajil Qawim wa Mauhubah Dzil Fadl ‘ala Sayrhi Muqaddimah Ba Fadl, Maktabah Darul Minhaj: 2011, juz II, halaman 396).
وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنَ الْحُرْمَةِ عَلَى مَا إِذَا اشْتَدَّ. وَعِبَارَةُ الْإِيْعَابِ: يَنْبَغِي حَمْلُ قَوْلِ الْمَجْمُوْعِ وَإِنْ اَذَى جَارَهُ عَلَى إِيْذَاءٍ خَفِيْفٍ لا يُتَسَامَحُ بِهِ
Artinya, “Sedangkan apa yang dikatakan oleh mushannif (penulis kitab), bahwa keharaman (mengeraskan bacaan) itu adalah jika (mengganggunya) melebihi batas. Adapun penjelasan dalam kitab al-I’ab, yaitu: sudah seharusnya untuk mengarahkan pendapat dalam kitab al-Majmu’ (yang mengatakan boleh) sekalipun mengganggu pada tetangganya, atas gangguan ringan yang masih bisa ditolerir.” .
Oleh karena itu parade sound system sejatinya sah-sah saja dilakukan asalkan tidak sampai mengganggu warga dan tidak melakukan kerusakan terhadap fasilitas warga maupun umum. Namun demikian, bila seseorang menyetel musik keras-keras dengan tujuan agar tetangga sekitarnya terganggu maka hal ini haram dan niatnya termasuk buruk yang mendatangkan dosa.
قَوْلُهُ: صَوْتًا وَلَوْ فِي الْمَسَاجِدِ مَا لَمْ يُشَوِّشْ عَلَى نَحْوِ مُصَلٍّ أَوْ ذَاكِرٍ أَوْ نَائِمٍ وَإِلَّا كُرِهَ: مَا لَمْ يَقْصِدْ التَّشْوِيشَ وَإِلَّا حَرُمَ
Artinya, “(Perkataan mushannif, yaitu: boleh mengeraskan suara) sekalipun dalam masjid selama tidak mengganggu pada orang yang shalat, orang yang dzikir, atau orang yang tidur. Jika tidak keras, maka hukumnya makruh. Hal ini selama tidak bertujuan untuk mengganggu. Jika bertujuan mengganggu, maka hukumnya haram.” (Zakaria al-Anshari, Ghurarul Bahiyah fi Syarhil Bahjatil Wardiyah, [Mathba’ah al-Maimaniyah], juz II, halaman 316).