Kamis 17 Aug 2023 08:28 WIB

Lahirnya Persatuan Arab-Indo­nesia di Zaman Kolonial dan Peran AR Baswedan

Persatuan Arab-Indonesia kompak melawan pemerintah kolonial Belanda.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Lahirnya Persatuan Arab-Indo­nesia di Zaman Kolonial dan Peran AR Baswedan. Foto:   Bendera Indonesia (Ilustrasi).
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republika Indonesia (NKRI), pada 4 Oktober 1934, masyarakat Arab seluruh Indonesia digemparkan dengan berita adanya Konferensi Peranakan Arab di Se­marang, Jawa Tengah.

Berita yang lebih menggemparkan lagi adalah telah berdirinya organisasi khusus untuk kaum asal dan pihak­nya. Hari itu merupakan detik-detik yang bersejarah bagi per­juangan kemerdekaan Indonesia, dan merupakan kelanjutan dari Sumpah Pemuda, 1928.

Baca Juga

Sebelumnya, pada 3 Oktober 1934, hari pertama konferensi dimulai, tibalah di Semarang orang-orang Arab peranakan terkemuka da­ri pihak Al-Irsyad dan Arrabitah. Mereka datang dari Surabaya, Semarang, Pekalongan, Solo, dan Jakarta, berjumlah sekitar 40 orang.

Suasana perkenalan pertama bagi yang hadir agak canggung berhubungan dengan pemakaian gelar 'sayid' yang menjadi penyebab perdebatan antara kedua belah pihak tersebut.

Abdul Rahman (AR) Baswedan dari pihak Al-Irsyad memelopori pemakaian sebutan 'saudara' dalam bahasa Indonesia dan 'al-ach' dalam bahasa Arab untuk menggantikan sebutan 'sayid' sehingga suasana menjadi lebih nyaman.

Di bawah pimpinan Nuh Alkaf (Arrabitah), sidang pertama itu membahas modus kompromi penggantian gelar sayid tersebut dan ternyata mendapat sambutan setuju. Sehingga di dalam sidang-sidang konferensi selanjutnya suasana sangat menggembirakan.

Pada 4 Oktober 1934, konferensi dilanjutkan di rumah Said Bahelul di Kampung Melayu. la adalah seorang yang bersemangat dan berjiwa sosial. Pada waktu itu, cuaca Oktober sangat panas sehingga banyak peserta konferensi membuka jasnya.

Nampak di antaranya ada yang menyandang pistol terselip di pinggang­nya. Suasana rapat agak tegang, karena banyak provokasi dan hasutan-hasutan dari masyarakat Arab yang saling bermusuhan. Mereka sama-sama menanti pihak mana yang menang dan merebut pengaruh dalam konperensi. Debat sengit segera terjadi, lebih-lebih setelah AR Baswedan selesai menguraikan buah pikiran yang diajukan dengan pokok-pokok sebagai berikut.

Pertama, Tanah Air Arab peranakan adalah Indonesia. Kedua, kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia-Islam.

Ketiga, berdasarkan ketentuan di atas, Arab peranakan wajib bekerja untuk Tanah Air dan masyarakat Indonesia. Keempat, untuk memenuhi kewajiban itu, perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan.

Kelima, hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab. Keenam, jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia.

Itulah poin-poin buah pikiran AR Baswedan yang sebe­lum terjadinya konferensi telah banyak diuraikan dalam harian Matahari, tempat ia bekerja sebagai redaktur. Harian terse­but adalah harian Melayu-Tionghoa yang berhaluan pro pergerakan nasional.

Pada 5 Oktober 1934 pagi hari, konferensi memper­debatkan soal bentuk dan sifat organisasi, terutama masalah orang murni dari Arab diterima atau tidak untuk menjadi anggota organisasi. Putusan terakhir menyetujui dibentuknya organisasi khusus untuk Arab peranakan saja, sedangkan Arab murni boleh diterima sebagai anggota penyokong (donatur) dengan tidak mendapat hak suara.

Maka lahirlah organisasi Persatuan Arab Indo­nesia (PAI) yang setelah tiga tahun kata 'persatuan' diganti 'partai'. Semula kata 'persatuan' oleh AR Baswedan digunakan untuk menonjolkan soal persatuan yang merupakan inti anjuran AR Baswedan bagi golongan Arab peranakan.

Kata 'persatuan' sengaja dipilih sebagai lambang persatuan Arab peranakan karena sebelum lahir Persatuan Arab Indo­nesia, dua kubu yaitu Al-lrsyad dan Arrabi­tah selalu berdebat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement