Rabu 16 Aug 2023 20:20 WIB

Ulama Perempuan Aceh Pimpin Laskar Wanita Lawan Belanda

Teungku Fakinah tidak hanya terlibat dalam pembuatan benteng.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, ilustrasi
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ada seorang tokoh wanita sekaligus ulama wanita yang turut berperanan dalam perang melawan Belanda di Aceh, namanya adalah Teungku Fakinah. Ulama perempuan ini dikenal dengan nama Teungku Faki.

Dikisahkan, tiga buah benteng baru yang didirikan di Lam Krak atas perintah Teungku Chik Di Tiro, satu diantaranya dikerjakan oleh para wanita di bawah pimpinan Teungku Fakinah. Benteng tersebut terletak di Kuta Cot Weue, Aceh.

Baca Juga

Teungku Fakinah tidak hanya terlibat dalam pembuatan benteng tersebut, tetapi juga turut menjadi panglima dalam mempertahankan benteng itu dari kepungan tentara Belanda. Sedangkan satu benteng lainnya di Kuta Bak Garut, dikepalai oleh

adiknya, yaitu Teungku Amat yang sering juga disebut dengan sebutan Teungku Leupueng.

Teungku Fakinah lahir pada tahun 1856 di Mukim Lam Krak, daerah XXII Mukim yang dikepalai oleh Panglima Polem. Ayahnya bernama Teungku Asahan (nama aslinya Datu Mahmud), sedangkan ibunya bernama Fathimah, yang sering dipanggil dengan sebutan Cut Mah, puteri seorang ulama besar yaitu Teungku Muhammad Saad yang lebih dikenal dengan sebutan Teungku Chik Lam Pucok.

Sejak kecil Teungku Fakinah belajar ilmu pengetahuan agama, terutama tentang tulis baca Alquran dari kedua orang tuanya. Teungku Fakinah belajar memahami berbagai kitab di Dayah Lam Krak sampai berumur 20 tahun. Sejak itu ia dianggap sebagai seorang gadis yang alim.

Teungku Fakinah dinikahkan dengan seorang ulama muda yang bernama Teungku Ahmad. Kedua suami isteri ini kemudian memimpin pusat pendidikan Islam Dayah Lam Pucok, yang dibangun oleh orang tua Teungku Fakinah.

Sejak itu Dayah Lam Pucok selain menerima santri pria, juga menerima santri wanita untuk menerima berbagai ilmu pengetahuan dari Tengku Fakinah, termasuk juga kerajinan tangan.

Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama ke Aceh pada tahun 1873, suami Teungku Fakinah yaitu Teungku Ahmad bersama pemuda lainnya yang sudah terlatih di Dayah Lam Pucok ditugaskan untuk menghadapi tentara Belanda yang mendarat di Pantai Cermin. Pendaratan tentara Belanda itu disambut dengan perlawanan yang seru, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban di kedua belah pihak.

Di pihak Aceh pada 8 April 1873 telah kehilangan beberapa orang tokoh pejuang. Yaitu wakil komandan pasukan Rama Setia,

lmum Lam Krak, dan Teungku Ahmad (suami Teungku Fakinah), serta sejumlah prajurit lainnya.

Setelah syahidnya Teungku Ahmad, maka kedudukannya diganti oleh Teungku Fakinah, baik sebagai pimpinan Dayah Lam Pucok maupun selaku pimpinan lasykar. Usaha pertama Teungku Fakinah adalah mengadakan kampanye untuk membangkitkan semangat jihad ke seluruh daerah Aceh Besar.

Terbentuknya Laskar Wanita

Teungku Fakinah mengajak kaum wanita untuk ikut membantu peperangan, dan mengusahakan pengumpulan dana untuk kepentingan perang. Setelah usahanya berhasil, kemudian ia membentuk lasykar wanita yang mula-mula hanya terdiri dari janda-janda yang suaminya telah syahid dalam perang sabil. Tetapi setelah itu banyak juga wanita yang masih mempunyai suami menjadi anggota pasukannya.

Pada 9 Juni 1896, pasukan Belanda di bawah pimpinan Kolonel JW Stempoort dengan jumlah yang besar menyerang benteng-benteng pimpinan Teungku Fakinah di daerah Lam Krak. Serangan itu disambut dengan perlawanan yang gigih selama dua bulan. Setelah menghadapi perlawanan para pejuang Aceh yang berkepanjangan itu, baru pada Agustus 1896 Belanda dapat menduduki daerah Lam Krak.

Teungku Fakinah bersama pasukannya mengundurkan diri ke Kuta Cot Ukam, kemudian ke Gleyeueng dan seterusnya ke lndrapuri. Dalam pertempuran itu syahid juga suami Teungku Fakinah yang kedua, yaitu Teungku Badai.

Setelah Aceh Besar jatuh ke tangan Belanda, maka Teungku Fakinah bersama pasukannya yang lain hijrah ke Pidie, mula-mula di Tiro, dan kemudian pindah ke Tangse. Di sini ia bersama ulama lainnya mendirikan dayah darurat untuk mendidik putera-peteri Aceh.

Tidak lama setelah Teungku Fakinah bermukim di Tangse, kemudian Belanda menyerbu ke daerah tersebut, dan pada buIan April 1899, Belanda dapat menguasai daerah itu. Teungku Fakinah bersama pasukannya kemudian mengungsi ke daerah Pase, dan selanjutnya menuju ke daerah Gayo luas untuk melanjutkan perang gerilya.

Dilansir dari buku Tokoh Agama Dalam Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950 di Aceh yang ditulis Rusdi Sufi, Muhammad Nasir, Zulfan dan diterbitkan Proyek Inventarisasi dan Dokumen Sejarah Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement