REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, ada kalanya terjadi percekcokan. Bahkan percekcokan ini berpotensi mengarah pada perceraian. Sering kali dalam situasi ini, istri meminta cerai pada suaminya.
Meskipun istri adalah pasangan hidup dengan suaminya, syariat Islam memilih pria, bukan perempuan, untuk membuat keputusan tentang perceraian. Ada banyak hikmah mengapa harus pria yang mengambil keputusan.
Pertama, untuk memelihara keutuhan, keberlangsungan dan kelangsungan ikatan keluarga. Hindari betul-betul pengambilan keputusan yang terburu-buru dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan, terlebih kepada anak-anak.
Wanita, secara umum, lebih mudah terbawa emosi dan lebih cepat merespons ketika terjadi percekcokan atau konflik dalam rumah tangga. Karena naluri bawaannya, wanita sangat terpengaruh oleh emosinya. Sekalipun wanita tersebut adalah wanita yang berpendidikan, dan tinggi secara status sosial, tetap tidak mengubah naluri bawaannya.
Apalagi, berbagai kekhususan pada wanita, seperti menstruasi, kehamilan, persalinan dan menyusui, adalah hal-hal yang memengaruhi suasana hati. Sehingga, kekhususan-kekhususan yang ada pada wanita tersebut membuat mereka memiliki perasaan yang sebetulnya bersifat sementara.
Ketahui pula bahwa pria pada umumnya lebih mengedepankan solusi saat terjadi konflik dalam rumah tangga. Apalagi, hal yang sering tidak disadari, bahwa pria atau sang suami itulah yang mengurus semua biaya pernikahan, seperti mahar, tempat tinggal, perabot, tunjangan, dan semacamnya. Ini adalah faktor-faktor yang membuat dirinya akan berpikir jernih dan tidak ingin terburu-buru.
Kedua, realitas memperlihatkan bahwa banyak wanita yang mendorong suami mereka untuk bercerai sehingga ketika perceraian terjadi, keputusan tersebut diambil di tangan istri, dan pada akhirnya mereka menyesalinya.
Kasus-kasus seperti itu terjadi di Tunisia di mana perempuan diberi hak untuk bercerai, seperti halnya laki-laki. Alhasil, tingkat perceraian meningkat berkali-kali lipat, sehingga undang-undang diubah. Setelah itu menjadi jelas bahwa sebagian besar perempuan yang menandatangani perceraian dan menceraikan suami mereka adalah karena reaksi emosional.
Baca juga: Upaya Para Nabi Palsu Membuat Alquran Tandingan, Ada Ayat Gajah dan Bulu
Tidak diragukan lagi bahwa perceraian tidak dapat menjadi hak masing-masing. Jika perceraian adalah hak masing-masing, maka akan menjadi permainan di antara mereka. Ada persaingan di antara mereka dan mungkin merasa dirinyalah yang paling benar. Dalam kondisi ini, tentu sulit berpikir bijaksana.
Ketiga, perceraian melibatkan masalah keuangan yang membebani suami yang diceraikan. Seperti mahar yang ditangguhkan, pemberian nafkah selama masa iddah, dan kadang masa iddah ini bisa diperpanjang hingga 9 sebulan karena kehamilan. Belum lagi membayar mut'ah perceraian.
Karena itu, pria atau para suami lebih matang saat mempertimbangkan soal perceraian. Adapun istri, perceraian terkadang menjadi kepentingannya. Karena ada mahar yang tertunda yang akan mereka terima. Juga soal masalah finansial lainnya.
Baca juga: Ketika Berada di Bumi, Apakah Hawa Sudah Berhijab? Ini Penjelasan Pakar
Keempat, wanita sejak pernikahan harus mengetahui bahwa aturan syariat tentang perceraian itu dibuat Allah SWT dengan keputusan ada di tangan suami. Allah SWT mengetahui apa yang terbaik untuk makhluknya.
Setiap syariat, pasti menyimpan maslahat. Tidak ada syariat kecuali di dalamnya mengandung kemaslahatan. Maka penting bagi istri untuk mengetahui dan memahami ini.
Kelima, jika wanita dirugikan karena suami tidak memenuhi hak perkawinannya, atau karena ketidakharmonisan, atau karena penyakit menjijikkan, atau ketidakhadiran suami, atau alasan serupa lainnya, maka wanita tersebut dapat mengakhiri pernikahan, dengan memberikan sebagian uangnya melalui perceraian. Atau melalui hakim yang memutuskan perkawinan, dengan cara yang tidak merugikan wanita.
Sumber: alukah