Kemudian, mereka berselisih pendapat tentang dua hal. Pertama, tentang apakah selain hukuman rajam juga dikenakan hukuman dera atau tidak. Kedua, tentang syarat-syarat status muhshan.
Para ulama berselisih pendapat tentang orang yang harus dihukum rajam, apakah sebelumnya ia harus didera terlebih dahulu, baru kemudian dihukum rajam pada hari berikutnya atau tidak.
Menurut mayoritas ulama, orang yang harus dihukum rajam itu tidak didera. Sedangkan menurut Al Hasan Bashri, Ishaq, Imam Ahmad, dan Imam Dawud, jika berstatus muhshan ia dedera dahulu kemudian dirajam.
Para ulama ini berijtihad berdasarkan pada sebuah hadits, "Sesungguhnya Rasulullah SAW menghukum rajam Ma'iz dan juga menghukum rajam seorang wanita dari suku Juhainah. Beliau juga menghukum rajam dua orang Yahudi dan seorang wanita dari keluarga besar Amir Al Azd."
Hadits-hadits ini ditakhrif dalam kitab-kitab shahih. Dan mereka melihat tidak ada satu pun di antara orang-orang yang berzina tersebut yang didera oleh Rasulullah.
Sebab dari segi pengertian, hukuman yang kecil itu sudah tercakup ke dalam pemberlakuan hukuman yang besar. Karena tujuan utama pemberlakuan hukuman hadd adalah untuk memberikan efek jera agar ke depan perbuatan tersebut tidak dilakukan lagi. Sehingga hukuman dera yang diberlakukan bersamaan dengan hukuman rajam tidak ada pengaruhnya sama sekali.