REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pakar ilmu Alquran KH Ahsin Sakho menjelaskan, shaf sholat berjarak tanpa adanya alasan darurat tidak bisa dibenarkan. Meski sholatnya tetap sah, umat Islam dinilai perlu memahami alasan-alasan mengapa hal itu harus ditolak.
Sebagaimana diketahui, Pemimpin Al Zaytun Panji Gumilang kembali membuat pernyataan nyeleneh yang mengait-ngaitkan shaf sholat berjarak dengan Alquran surah Al Mujadalah ayat 11. Padahal, secara diskursus ilmu Alquran dan tafsir, Kiai Ahsin menilai pernyataannya tidak dapat dibenarkan.
"Bila ada seseorang yang seperti itu (menyatakan atau melakukan sholat berjarak), sholatnya masih tetap sah, hanya saja hal itu tidak sesuai dengan yang dikehendaki Nabi," kata Kiai Ahsin saat dihubungi Republika, Kamis (3/8/2023).
Sehingga jika sikap umat Islam seperti itu, beliau menilai hal itu sedikit demi sedikit akan menjauh dari yang diimbau oleh Nabi Muhammad SAW. Sebab, Kiai Ahsin menekankan, sebaik-baik umat Islam adalah yang ittiba' (mengikuti) Kanjeng Nabi. Apakah seorang Muslim mengetahui falsafah daripada hukum itu atau tidak, yang terpenting jika Nabi sudah mengimbau umat Islam untuk melakukan sesuatu maka di situ pasti terdapat hikmah di dalamnya.
Jika sebaliknya yang dilakukan, kata Kiai Ahsin, umat Islam berarti tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Nabi sehingga cinta terhadap Nabi sedikit demi sedikit pun akan terkikis.
"Nanti yang lain bisa seperti itu. Apakah Islam akan diarahkan seperti itu? Islam kan untuk seluruh dunia, kalau seandainya kita tawarkan itu kepada seluruh dunia, dan kita akan dicap sebagai orang-orang yang tidak cinta kepada Kanjeng Nabi. Walaupun sah sholatnya, tapi itu bisa membuat renggang dengan sunnah Nabawiyyah," ujar beliau.
Kiai Ahsin pun menjelaskan tiga alasan mengenai pernyataan shaf sholat berjarak yang dikaitkan dengan surat Al Mujadalah ayat 11. Berikut penjabarannya:
Pertama, meletakkan pemahaman suatu ayat pada sesuatu yang tidak berhubungan dengan itu sudah tentu ini merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan pakem-pakem penafsiran Alquran.
"Dan ini seandainya diteruskan maka akan banyak sekali hal-hal yang akan diubah, maka saya khawatir nanti jika sesuatu tidak sesuai dengan orang itu maka akhirnya diubah sesuai dengan isiannya masing-masing dan itu jelas tidak mengikuti pakem-pakem keilmuan tafsir. Dan ini sudah tentu bermasalah, baik dari segi disiplin ilmu tafsir, ilmu hadits juga seperti itu," kata Kiai Ahsin.
Kedua, hal demikian sudah tidak sesuai dengan apa yang diatur oleh Nabi Muhammad. Pada masa Nabi, seandainya sholat jamaah hendak dilangsungkan, kata Kiai Ahsin, bilal itu diperintahkan untuk meratakan barisan. Padahal, di masa Nabi, jumlah jamaah belum sampai berdesak-desakkan dan tetap saja umat Islam diperintahkan untuk mengatur barisan sholat walaupun hanya dua baris.
Ketiga, pernyataan tersebut dinilai bisa membuka peluang untuk menciptakan perilaku-perilaku yang baru yang tidak pernah dilakukan Nabi dan para sahabat.
"Kita khawatir ini akan terjadi perpecahan pada kaum Muslimin," ujar beliau.
Dengan adanya pernyataan-pernyataan yang seperti ini saja, Kiai Ahsin menilai bahwa itu telah membuat pro kontra, kegaduhan. Beliau pun menekankan apabila seseorang hendak melakukan ijtihad yang dianggap niatnya itu bagus, namun ijtihad itu mendatangkan dharar, maka dalam kaidah ushul fikih hal demikian ditolak atau tidak diperbolehkan.
"Sehingga kalau memang punya suatu ijtihad yang niatnya seperti itu tapi ijtihadnya itu menciptakan dharar, maka hanya untuk mempertahankan ijtihadnya sendiri tanpa memikirkan unsur dhararnya, maka dalam kaidah fikih ini ditolak dan tidak bisa dibenarkan," ungkap beliau.