REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dalam hukum Islam, perkara menyusui dan disusui di luar garis nasab (keturunan) memiliki konsekuensi hukum yang berbeda dari yang keturunan. Untuk itu apakah boleh seorang lelaki menikahi anak yang pernah disusui istrinya ketika kecil?
Apakah lelaki pemilik air susu, yakni suami perempuan yang menyusui, menjadi ayah bagi anak yang disusui sehingga menyebabkan keharaman antara keduanya seperti hubungan antara seorang ayah dengan anaknya karena faktor nasab?
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, dalam masalah ini para ulama berselisih pendapat. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Al Auzai, dan Ats Tsauri, air susu pejantan menyebabkan keharaman.
Sedangkan, menurut sebagian ulama yang lain, air susu pejantan tidak menyebabkan keharaman. Yang pertama tadi ialah pendapat Ali dan Ibnu Abbas. Dan yang kedua ialah pendapat Sayyidah Aisyah, Ibnu Az Zubair, dan Ibnu Umar.
Silang pendapat ini karena ada pertentangan antara pengertian lahiriah ayat Alquran, yakni ayat tentang radha (persusuan), dengan hadits Sayyidah Aisyah yang cukup terkenal.
Beliau bercerita, "Ja-a aflahu akhu abil qais yasta'dzinu alayya ba'da an unzilal hijab, fa-abaitu an adzana lahu, wa sa-altu Rasulallah SAW faqaala; innahu ammuki fa'dzani lahu, faqultu; ya Rasulallah, innama ardha'atniy al mar'atu, walam yurdhi'niy arrajulu! Faqala: innahu ammuki falyalij alaiki."
Yang artinya, "Aflah, saudara Abul Qais datang meminta izin bertemu denganku. Karena saat itu sudah turun ayat hijab, maka aku enggan memberinya izin. Ketika aku bertanya kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, 'Sesungguhnya ia adalah pamanmu. Beri izin ia menemuimu.' Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya yang menyusuiku itu hanya seorang wanita, bukan seorang lelaki.' Nabi bersabda, 'Tetapi sesungguhnya ia adalah pamanmu. Jadi persilakan ia masuk menemuimu'" (HR Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Malik).
Ulama-ulama yang menganggap bahwa dalam hadits ini ada aturan tambahan terhadap aturan yang ada dalam ayat Alquran, yakni firman Allah Surat An-Nisa ayat 23. Allah berfirman, "... Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu, dan saudara-saudaramu perempuan sepersusuan."
Kemudian atas sabda Nabi Muhammad, "Yahrumu minarradha'ati maa yahrumuminal-wiladati." Yang artinya, "Sesuatu yang diharamkan karena susuan juga diharamkan karena nasab."
Para ulama mengatakan bahwa air susu pejantan menyebabkan keharaman. Sedangkan ulama-ulama yang menganggap bahwa ayat dan hadits tersebut dikeluarkan sebagai penjelasan atas aturan dasar susuan, karena menunda penjelasan dari waktu yang sangat dibutuhkan tidak boleh terjadi, mereka mengatakan bahwa kalau tuntutan hadits tersebut diamalkan sesuai dengan ketentuannya maka ia menasakh aturan-aturan dasar tersebut.
Sebab, suatu aturan tambahan yang mengubah aturan dasar berarti membatalkannya. Di samping itu, pendapat Sayyidah Aisyah sendiri tidak menganggap adanya pengharaman dengan air susu pejantan, padahal ia adalah perawi hadits tersebut.
Pada dasarnya aturan-aturan dasar yang telah tersebar dan yang dimaksudkan sebagai penjelasan pada waktu dibutuhkan, sulit ditolak. Berdasarkan hadits-hadits tidak dikenal, khususnya hadits Sayyidah Aisyah itu sendiri.
Oleh karena itu, mengomentari hadits Fatimah binti Qais, Sayyidina Umar mengatakan, "Kami tidak akan meninggalkan Kitabullah hanya karena hadits seorang wanita."