REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam merupakan agama kedamaian. Di mana justru meski Rasulullah kerap dizhalimi oleh kaum musyrikin Makkah, beliau tidak memerangi mereka. Mengapa demikian?
Pakar Ilmu Tafsir Prof Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW menjelaskan, diduga keras izin berperang baru diberikan Allah pada tahun ke-2 Hijriyah. Artinya, semasa Nabi Muhammad SAW berdakwah di Makkah sebelum hijrah, meski dimusuhi dan dizalimi, Nabi dan umat Islam tidak melakukan perang.
Pada periode Makkah, dapat dikatakan bahwa melawan kaum musyrikin dengan fisik bukanlah anjuran agama. Sebab di masa itulah turun izin bagi yang terpaksa untuk mengucapkan kalimat kufur selama hati tetap mantap dalam iman.
Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah An-Nahl ayat 106, “Man kafara billahi min ba’di imaanihi illa man ukriha wa qalbuhu muthma’inun bil-imani." Yang artinya, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), tetapi yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (makan dia tidak berdosa)."
Maka dapat dikatakan bahwa dalam periode Makkah, tidak dibenarkan berjihad dengan mengangkat senjata. Menurut ahli tafsir dan hukum Islam Al-Qurthubi, sebagaimana dikutip Prof Quraish, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang terlarangnya mengangkat senjata pada periode Makkah.
Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT Surah Fushshilat ayat 34, “Wa la tastawi al-hasanatu wa la as-sayyiatu idfa’ billati hiya ahsanu fa-idzalladzi bainaka wa bainahu adawaatun ka-annahu waliyyun hamimun." Yang artinya, “Tidak sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara engkau dengan dia ada permusuhan (segera akan berubah baik) seolah-olah dia telah menjadi teman yang sangat setia."