REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Awalnya Ibnu Al Nafis tidak terkenal sebagaimana julukan yang sekarang disematkan oleh dunia kepadanya, 'Bapak Fisiologi Sirkulasi Darah'. Sumbangsihnya pada keilmuan kedokteran dunia pun tidak terlihat.
Hingga akhirnya, pada 1924, seorang dokter Mesir yang sedang belajar di Jerman, menemukan manuskrip berjudul Syarh Tasyrih Al-Qonun li Ibnu Sina (Penjelasan Anatomi Hukum Ibnu Sina).
Manuskrip ini jadi temuan yang mengubah ilmu kedokteran khususnya pada sirkulasi darah, yang telah diyakini sebelumnya di dunia.
Dari manuskrip tersebut, diketahui bahwa penemuan sirkulasi darah dalam tubuh manusia adalah milik seorang dokter Muslim dari abad ke-13 bernama Ibnu Al Nafis.
Sebelum manuskrip Ibnu Al Nafis itu ditemukan, para ahli kedokteran meyakini bahwa darah terbentuk di hati atau limpa, kemudian mengalir melalui pembuluh darah setelah melewati jantung. Pandangan ini terpatahkan oleh penemuan Ibnu Al Nafis.
Ibnu Al Nafis kemudian dianggap sebagai salah satu cendekiawan Muslim besar yang meninggalkan jejaknya dalam sejarah manusia. Terutama di bidang kedokteran melalui penemuan-penemuan ilmiah, yang terbukti mengungguli dokter Inggris William Harvey yang selama empat abad dianggap sebagai orang yang menemukan sirkulasi darah.
Sistem sirkulasi darah yang ditemukan Ibnu Al Nafis juga mengoreksi apa yang diyakini Ibnu Sina dan Klaudius Galenus yaitu darah dihasilkan dari hati atau limpa lalu mengalir melalui pembuluh darah setelah melewati jantung.
Lihat halaman berikutnya >>>