REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Antara Muslim dan kafir jelas-jelas menganut akidah yang berbeda. Namun, hal itu tidak kemudian menjadi alasan bermusuhan. Justru, kedua belah pihak perlu mencari titik temu agar melanggengkan kehidupan yang damai dan tenteram.
Begitu banyak pesan Rasulullah SAW kepada seluruh pengikutnya untuk selalu menjaga harmoni. Selama di Madinah, kaum Muslim berposisi sebagai mayoritas, sehingga memiliki kemungkinan paling besar untuk tampil mendominasi.
Namun, tidak pernah Nabi SAW bersikap semena-mena atau mengabaikan hak-hak dasar dari komunitas pemeluk agama lain. Imam Bukhari meriwayatkan suatu hadis yang memuat wasiat Rasulullah SAW tentang orang kafir dzimmi.
Hendaknya ditunaikan kesepakatan perjanjian dengan mereka, tidak memerangi mereka dari arah belakang, dan tidak juga membebani mereka di luar kemampuan mereka.
Pembebasan Makkah (Fathu Makkah) pada Jumat, 10 Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah adalah momentum penting yang menampilkan wajah Islam sebagai penjunjung tinggi toleransi.
Sebelumnya, Rasulullah SAW ditemui oleh pamannya, Abbas, dan Abu Sufyan yang kemudian menyatakan diri Islam. Abu Sufyan lantas kembali ke Makkah untuk mengabarkan penduduk setempat tentang Nabi SAW yang hendak memasuki Makkah dengan pasukan berjumlah besar.
Rasulullah SAW membagi 10 ribu prajuritnya ke dalam empat kelompok. Masing-masing dipimpin Zubayr bin Awwam, Khalid bin Walid, Sa'd bin 'Ubadah, dan Abu 'Ubadah al-Jarrah.
Baca juga: Terpikat Islam Sejak Belia, Mualaf Adrianus: Jawaban Atas Keraguan Saya Selama Ini
Beliau berpesan kepada seluruh pengikutnya agar tidak menumpahkan darah kecuali bila memang diperangi terlebih dahulu.
Nabi Muhammad SAW pun berhasil memasuki Makkah tanpa kekerasan. Setelah bertawaf mengelilingi Ka'bah, beliau menghancurkan semua berhala yang ada di sana. Inilah prinsip keteguhan akidah yang kukuh. Kebathilan lenyap, sedangkan kebenaran tegak berdiri.
Kemudian, Rasulullah SAW melihat begitu banyak penduduk Makkah yang memenuhi Masjidil Haram. Mereka semua menanti apa keputusan dari sang penakluk yang dahulunya diusir dari tanah kelahirannya sendiri hanya karena berbeda agama.
“”Wahai kaum Quraisy! Menurut kalian, apa yang akan kuperbuat kepada kalian?” seru Nabi SAW. Jawabannya riuh-rendah. Malahan, ada yang gemetar ketakutan menyaksikan Rasulullah SAW di hadapannya. Maka, berkatalah beliau:
فَإِنِّي أَقُولُ كَمَا قَالَ أَخِي يُوسُفُ: لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ اذْهَبُوا فَأَنْتُمْ الطُّلَقَاءُ
“Sungguh, aku akan berkata seperti perkataan Nabi Yusuf kepada saudara-saudaranya, 'Hari ini tidak ada cemoohan terhadap kalian' Allah mengampuni kalian dan Dia Maha Penyayang. Pergilah, kalian semua telah bebas! Maka, berbondong-bondonglah penduduk kota tersebut berpindah ke agama Islam.”
Mereka menyaksikan dan mengalami sendiri betapa mulianya akhlak Nabi SAW. Beliau tidak mengungkit-ungkit kezaliman yang telah dilakukan pemuka-pemuka Quraisy pada masa silam. Diutamakannya pengampunan atas mereka, alih-alih meneruskan bara konflik. Inilah makna toleransi yang lebih memprioritaskan kepentingan umum di atas diri pribadi.