Senin 26 Jun 2023 07:34 WIB

Haruskah Waktu Puasa Arafah dan Idul Adha Ikut Saudi? Ini Penjelasan Ketum Persis

Banyak Muslim berpuasa arafah jelang Idul Adha.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Berdoa ketika berpuasa (ilustrasi)
Foto:

"Pelaksanaan puasa Arafah dengan tidak memperhatikan penanggalan setempat akan menimbulkan permasalahan baru yang lebih sulit, yaitu penentuan hari lebaran Idul Adha-nya. Kalau memang ada dalil yang diperselisihkan tentang pengertian puasa Arafah, apakah untuk Idul Adhanya juga harus mengikuti penanggalan Saudi?," jelasnya.

Jika hal itu terjadi, lanjut dia, maka akan terjadi kekacauan penanggalan bulan Dzulhijjah selanjutnya yaitu setelah tanggal sepuluh. “Kecuali kalau mau konsisten untuk sepanjang tahun tidak menggunakan penanggalan negeri masing-masing, tetapi menggunakan penanggalan tunggal mengikuti hasil ru’yat Saudi dengan konsekuensi negeri-negeri muslim seluruh dunia tidak akan punya kalender melainkan menunggu ketetapan ru’yat negara Saudi pada setiap awal bulan," katanya.

Fakta ilmiyah juga menunjukan bahwa negeri-negeri muslim terbagi pada dua wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang terkadang berbarengan terkadang berbeda. Karena munculnya hilal tidak menetap pada posisi dan ketinggian yang sama setiap awal bulan nya. 

Demikian juga perbedaan waktu antara satu negeri muslim di wilayah barat dengan negeri muslim di wilayah timur ada yang terpaut sampai 12 jam. Sementara, pelaksanaan wukuf hanya sekitar enam jam, yaitu dari bada Zhuhur sampai Maghrib.

Sehingga, menurut Kiai Jeje, jika kaum muslimin yang tinggal di sebagian benua Amerika yang perbedaan waktunya antara tujuh sampai delapan jam, maka mereka tidak dapat menunaikan ibadah puasa Arafah karena pelaksanaan wukufnya sudah selesai. 

"Sebaliknya kaum muslimin yang ada di Australia juga tidak bisa puasa Arafah karena ketika wukuf baru mulai mereka sudah waktu malam," ujarnya.

Fakta historis bahwa selama berabad-abad lamanya kaum muslimin di dunia melaksanakan puasa Ramadhan maupun Arafah berpatokan kepada penanggalan negara masing-masing. Sejak wafatnya Rasulullah SAW hingga abad ke dua puluh, tidak ada satupun negeri muslim yang menyesuaikan penanggalan mereka kepada ru’yat negara Saudi, kecuali setelah diketemukannya alat komunikasi dan transformasi yang canggih sekarang ini. 

"Bagaimana mungkin akan memberi tahukan hasil ru’yat di Saudi ke pusat khalifah Islam di Bagdad dan Qordova pada masa itu, atau ke pusat Islam di Jawa dan Sumatra, atau ke pusat Islam di India, dan lain sebagainya. Kecuali ke negeri-negeri Islam yang berada di sekeliling Makkah atau Jazirah Arab, dan itu memang hal yang rasional serta realistis," ucapnya.

Kiai Jeje menambahkan, tidak ada dalil yang mengkhususkan atau yang membedakan antara ketentuan ru’yat untuk Idul fitri dengan ru’yat Idul Adha. Rasululullah bahkan bersabda, “Siapa di antara kamu yang sudah melihat Hilal Dzulhijjah dan hendak berkurban, maka janganlah ia mencukur rambut dan jangan menggunting kukunya.” (hadits Sahih Muslim).

Demikian pula sabda Rasulullah, “Lebaran adalah pada saat kalian berlebaran dan berkurban adalah pada saat kalian berkurban”. (Hadits sahih riwayat Tirmidzi). 

Menurut Kiai Jeje, kedua hadits tersebut berlaku bagi setiap negeri muslim, bukan hanya untuk Saudi Arabia saja.

"Dengan demikian, maka pelaksanaan puasa Arafah dan Idul Adha mengikuti penanggalan dan hasil rukyat negeri masing-masing, Insya Allah telah sah memenuhi kriteria ijtihadiyah-ilmiyah menurut syariat Islam. Wallahu A’lam bis Shawab," kata Kiai Jeje.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement