Belanda menikmati periode kekayaan dan kemakmuran yang tak tertandingi. Ketika Belanda baru merdeka dari Spanyol, banyak orang dari berbagai kelas menjadi kaya dalam perdagangan melalui Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Dengan uang yang begitu banyak, tiba-tiba seni, keanehan, dan barang-barang unik menjadi barang modis bagi para kolektor dan kalangan atas. Belanda pun terpesona dengan bunga tulip langka, terutama varietas "unik", seperti umbi yang menghasilkan bunga bergaris dan berbintik-bintik yang terlihat lebih eksotis sebagai pajangan mencolok di pesta-pesta.
Harga tulip tertinggi yang didokumentasikan adalah 5.200 gulden Belanda per umbi, pada musim dingin tahun 1637. Ini adalah angka yang mengejutkan. Setara dengan lebih dari tiga kali nilai lukisan karya seniman internasional Rembrandt, dan 20 kali penghasilan tahunan pekerja terampil.
Kelas menengah dalam masyarakat Belanda berusaha meniru tetangga mereka yang lebih kaya. Mereka berusaha memiliki bunga tulip meski harganya selangit. Tujuannya untuk mencapai prestis sosial tertentu.
Namun, pada saat yang sama, tulip dikenal sangat rapuh dan halus dalam perawatannya, dan bisa mati jika pengurusnya tidak cermat dalam instruksi budidaya. Kemudian, penanam tulip profesional mulai meningkatkan teknik menanam dan memproduksi bunga secara lokal di Belanda.
Teknik produksi tulip tersebut menciptakan sektor bisnis yang berkembang pesat hingga menjadi simbol negara Eropa bagi dunia hingga saat ini. Popularitas bunga tulip di Eropa, yang semula berasal dari Kesultanan Turki Usmani itu, pun semakin meningkat.
Banyak orang berinvestasi gila-gilaan pada tulip. Sampai memicu spekulasi harga yang sangat tinggi. Bunga-bunga tulip dijual kembali berkali-kali tanpa pernah meninggalkan penjualnya. Varietas umbi langka dijual setara dengan jutaan dolar dalam nilai hari ini.
Pada abad ke-17, mata uang Belanda adalah gulden, yang mendahului penggunaan euro. Pada puncak gelembung spekulasi itu, bunga tulip dijual seharga sekitar 10 ribu gulden, kira-kira senilai sebuah rumah besar di Amsterdam Grand Canal.
Tetapi spekulasi tentang umbi tanaman ini tidak mendapat kepercayaan yang mendalam di kalangan investor dan modal, sampai kehancuran terjadi pada awal tahun 1637. Muncul keraguan apakah harga akan terus meningkat untuk produk semacam itu.
Peluang keberhasilannya tentu sangat bergantung pada waktu. Pada akhirnya, hampir dalam semalam, pasar tulip runtuh di Belanda, menyebabkan hilangnya kekayaan besar dan kehancuran finansial bagi banyak orang Belanda.
Pembeli mengumumkan bahwa mereka tidak bisa membayar harga tinggi yang telah disepakati sebelumnya untuk umbi tulip. Pasar pun ambruk. Rusaknya ekonomi Belanda memang tidak permanen. Tetapi akibat kerusakan yang lain, keruntuhan ekonomi Belanda bertahan selama beberapa dekade.
Di Eropa bahkan hari ini, apa yang kemudian dikenal sebagai fenomena "tulip mania" Belanda pada abad ke-17 sering dikutip sebagai contoh keserakahan, ekses, obsesi keuangan, dan keinginan untuk naik kelas.