REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam hukum Islam masalah pengasuhan, pemeliharaan, dan pendidikan anak disebut dengan istilah hidhanah. Lantas di dalam keluarga, siapa yang paling berhak dan bertanggung jawab terhadap hal ini?
Prof Huzaemah Tahido Yanggo dalam buku Problematika Fikih Kontemporer menjelaskan, hak mengasuh dan mendidik anak bagi ulama fikih dibagi-bagi berdasarkan kriteria dan kondisi tertentu. Berikut penjabarannya:
Pertama, hak mengasuh dan mendidik itu ditetapkan bagi kaum wanita kemudian setelah itu baru kaum pria. Kaum wanita merupakan kalangan pertama yang paling berhak untuk hal tersebut yakni seorang ibu.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Al-Baqarah penggalan ayat 233, “Wal-waalidatu yurdhi’na awlaadahunna." Yang artinya, “Dan para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya."
Rasulullah SAW juga bersabda, “Anta ahaqqu bihi ma lam tankihi." Yang artinya, “Engkau lebih berhak dengannya selama engkau belum menikah."
Kedua, jika anak tidak mempunyai ibu yang berhak untuk mengasuh dan mendidiknya di rumah—baik karena dia tidak berhak atau tidak mempunyai kriteria untuk mengasuh/mendidik—maka neneknya (ibu dari ibunya) lebih berhak dari siapa pun sampai ke atas (garis keturunannya). Sebab ia menyertai ibu (bagi anaknya) dalam hal melahirkan dan mendapatkan warisan.
Adapun yang mengikuti pendapat tersebut adalah Imam Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah. Sementara Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat kedua menentang pendapat tersebut.
Ketiga, yang berhak mengurus hidhanah mengasuh dan mendidik di rumah setelah ibunya dan neneknya dari ibunya adalah ayahnya. Hal ini berdasarkan sejumlah pertimbangan, salah satunya adalah memperhatikan anak dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang yang umumnya hanya bisa dilakukan oleh orang tua.