Sabtu 27 May 2023 16:00 WIB

Tak Semua Ulama Dekat dengan Kekuasaan, Ini Alasan Mereka Menolak Diberi Jabatan

Sejumlah sahabat dan ulama masa lalu takut emban jabatan

Rep: Umar Mukhtar / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi sahabat dan ulama. Sejumlah sahabat dan ulama masa lalu takut emban jabatan
Foto:

3. Qasim bin Tsabit bin Abdul Aziz al-Fihri

Qasim berasal dari Zaragoza di Andalusia. Dia diminta negaranya untuk menjadi hakim tetapi menolak. 

Ketika dipaksa pemimpin negeri, dia pun meminta waktu selama tiga hari untuk mempertimbangkannya sekaligus meminta petunjuk kepada Allah SWT. Dalam rentang waktu 3 hari inilah, Abdul Aziz al-Fihri wafat. 

Pada masa Kekhalifahan Islam, hakim menjadi jabatan bergengsi. Begitu penting peran yang dimainkannya dalam menyelesaikan perselisihan dan menangani urusan umat Islam. Bahkan, orang yang menjabat sebagai hakim, akan mendapat kekebalan dan kebebasan dari otoritas politik saat itu.

Baca juga: Mualaf Theresa Corbin, Terpikat dengan Konsep Islam yang Sempurna Tentang Tuhan

Mengapa demikian? Karena penguasa yang menunjuk seseorang untuk menjadi hakim tentu menginginkan suatu pilihan yang baik untuk dirinya. 

Kondisi ini menjadikan hakim memiliki otoritas yang berparalel dengan otoritas politik. Saat itu muncul istilah, "Tidak ada kehormatan di dunia setelah kekhalifahan kecuali peradilan." 

Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Tidak ada orang yang lebih dekat dengan Allah SWT pada Hari Kebangkitan kelak setelah raja terpilih dan nabi, kecuali pemimpin yang adil." 

Untuk menjadi seorang hakim, dibutuhkan ilmu dan ketakwaan, sebagaimana perkataan Malik bin Anas. Para ahli fiqih, yang termasuk orang-orang beriman dan berilmu, sering menolak jabatan hakim peradilan. 

 

Mereka khawatir apa yang diputuskannya tidak mampu memperbaiki berbagai urusan sesuai ketentuan syariat. Selain itu, mereka menolak demi menghindari risiko jatuh ke dalam kesalahan saat mengeluarkan putusan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement