Rasulullah SAW bersabda, "Hakim itu ada tiga macam, (hanya) satu yang masuk surga, sementara dua (macam) hakim lainnya masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah seorang hakkm yang mengetahui al-haq (kebenaran) dan memutuskan perkara dengan kebenaran itu. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran lalu berbuat zalim (tidak adil) dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Dan seorang lagi, hakim yang memutuskan perkara (menvonis) karena 'buta' dan bodoh (hukum), maka ia (juga) masuk neraka," (HR. Abu Dawud).
Imam Al Mawardi dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah menjelaskan, seorang hakim tidak boleh menerima hadiah dari salah satu pihak yang berperkara atau dari salah seorang warga di wilayah kerjanya. Meskipun orang tersebut tidak sedang mengajukan perkara.
Sebab, boleh jadi hadiah tersebut menyebabkannya berpaling dari keadilan. Rasulullah SAW bersabda, "Hadiah-hadiah (yang diberikan) kepada para wali (setingkat gubernur) adalah belenggu,".
Jika seorang hakim menerima hadiah yang didahului dengan dipercepatnya pembayaran gajinya, maka ia berhak memilikinya. Namun jika pembayaran gajinya tidak dipercepat, dan tidak bersamaan dengan pemberian hadiah tersebut, maka kas negara (baitul maal) lebih berhak hadiah itu jika ia tidak menemukan jalan untuk dapat hadiah kepada si pemberi. Karena Baitul Maal lebih berhak terhadap hadiah tersebut dibanding hakim.