Jumat 19 May 2023 14:00 WIB

Mengenal Sekufu dalam Pernikahan

Sekufu bukan syarat sah menikah.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Mengenal Sekufu dalam Pernikahan. Foto: Ilustrasi Pernikahan
Foto: Pixabay
Mengenal Sekufu dalam Pernikahan. Foto: Ilustrasi Pernikahan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, dia tentu akan memilih pasangan yang terbaik. Bahkan mereka berusaha untuk mencari pasangan yang lebih baik dari dirinya sendiri.

Misalnya, pasangan lebih rupawan, lebih pandai, bahkan status sosial dan ekonomi lebih tinggi. Dengan harapan kehidupan dan anak keturunannya menjadi lebih baik.

Baca Juga

Lantas apakah hal itu bisa menjadi jaminan pernikahan akan langgeng meski tak sekufu atau justru menjadi sumber perpecahan di dalam rumah tangga. Lalu apa yang dimaksud dengan menikahi pasangan yang sekufu.

Mengutip buku Menakar Kufu Dalam Memilih Jodoh tulisan Ahmad Zarkasih menjelaskan Wahbah al- Zuhaili Menerangkan bahwa kufu' itu adalah:

 

المماثلة بين الزوجين دفعاً للعار في أمور مخصوصة

"Sesepadanan antara kedua pasangan sebagai bentuk pencegahan kecacatan dari beberapa aspek.

Meski sekufu bukan syarat sah menikah, jumhur ulama tidak mengamini pendapatnya Imam Daud al-Zohiri itu dan melihat bahwa kafaah itu menjadi salah satu syarat dalam pernikahan. Karena memang ada beberapa dalil menunjukkan itu. Di antaranya

ثَلاثَةٌ لَا تُؤَخِّرْهُنَّ الصَّلَاةُ إِذَا أَتَتْ، وَالْجَنَازَةُ إِذَا حَضَرَتْ، وَالْأَيمُ إِذَا وَجَدَتْ كُفُوا

"Tiga Hal yang tidak boleh ditunda; Shalat kalau sudah datang waktunya, mayat -kalau sudah siap dikuburkan-, dan anak perawan kalau sudah ada yang kufu (Sepadan) dengannya".

لَا تَنْكِحُوا النِّسَاءَ إِلَّا الْأَكْفَاءَ

"Janganlah kalian menikahkan wanita-wanita (anak-anak kalian) kecuali dengan yang sepadan (kufu) dengannya." (Hadits riwayat Daroquthniy, Kitab Nikah, Bab al-Mahr, no. 11.)

إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَحُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا

تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ

"Jika datang kepada kalian seseorang (untuk melamar anak-anak kalian) yang kau ridhai agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia " (Hadits riwayat Turmudzi, Kitab Nikah, Bab "idza jaa'a mantardhauna dinahu wa khuluqahu fazawwijuuh", no. 1004)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan tegas memerintahkan para orang tua untuk memeriksa dan meneliti dulu agama serta akhlak orang yang berniat melamar anak perawannya. Itu bukti kalau memang harus ada kafaah dalam pernikahan. Kalau itu tidak ada, pasti Nabi juga tidak memerintahkan itu, pokoknya Islam, ya menikah. Tapi tidak seperti itu.

Selain hadits-hadits di atas, Wahbah al-Zuhaili menyebutkan bahwa secara akal pun, yang namanya kufu itu sangat diterima. Karena sudah menjadi pengetahuan umum (semua orang tahu), bahwa dengqn kesamaan status, dan kesepadanan starata antara kedua pasangan pasutri itu menjadi salah satu faktor keharmonisan keluarga. Karena bagaimana pun kafaah itu punya pengaruh besar atas lancar tidaknya sebuah hubungan keluarga.

Syariat ini menginginkan adanya maslahat dari hubungan pernikahan itu, maka kafaah sebagai faktor yang mewujudkan itu menjadi perhitungan juga.

Terkait memilih pasangan sekufu ternyata itu adalah hak seorang wanita. Dengan begitu, laki-lakilah yang harus menyepadankan dirinya kepada wanita, bukan sebaliknya.

Karena memang laki-laki tidak pernah mempermasalahkan status rendah istrinya, berbeda dengan wanita dan keluarganya yang mungkin saja, dan memang biasanya mempermasalahkan status pria kalau ia lebih rendah.

Wahbah menambahkan bahwa yang namanya wanita terhormat sulit untuk hidup bersama laki-laki yang rendah derajat sosialnya. Berbeda dengan lelaki yang bisa hidup dengan wanita mana saja tanpa tahu rendah atau tinggi derajatnya.

Di samping itu, upaya ini juga bertujuan sebagai bentuk proteksi syariah guna menjaga kemulian wanita agar tidak terkotori dengan dipasangkan laki- laki tanpa kualifikasi yang jelas.

Dalam Madzhab Imam Malik hanya mensyaratkan aspek al-Diin saja dalam konsep kafaah-nya. al-Diin itu berarti agama, namun bukan asal Islam.

Tapi yang dimaksud dalam madzhab ini ialah. Islam yang berstatus "atau tidak fasiq. Fasiq dalam pandangan ulama fiqih ialah mereka yang melakukan dosa besar walau sekali, atau ditambahkan dalam pendapat minoritas mengerjakan dosa kecil tapi berkali-kali.

Artinya, dalam madzhab ini, seorang wanita baik- baik, yang tertutup auratnya, rajin shalatnya, baik akhlaknya, mestinya mendapat laki-laki yang baik Islamnya, bisa dikatakan seorang Ustaz atau orang yang terkenal shalih. Atau minimal orang yang sama keshalihannya dengan si wanita, apapun profesinya yang penting Islamnya baik.

Jadi, laki-laki "nakal" tidak boleh dipasangkan dengan santriwati yang shalehah dan terjaga.

Sedangan Madzhab al-Hanafiyah, al-Syafi'iyyah dan al- Hanabilah, selain aspek agama, mereka menambahkan beberapa aspek lain sebagai aspek kufu' yang memang harus dijadikan pertimbangan dalam menerima seorang calon suami, yaitu:

Pertama, al-Diin (agama), kedua, al-Hurriyah (bebas ataubbudak), ketiga, al-Nasab (Keturunan), dan keempat, al-Hirfah (Profesi ataubstrata sosial).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement