REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Korupsi masih menjadi masalah serius yang harus diselesaikan di Indonesia. Para oknum penyelenggara negara masih banyak yang melakukan tindak kejahatan ini.
Dalam Islam, perbuatan korupsi ini sangat dilarang. Bahkan, korupsi dapat digolongkan ke dalam jenis-jenis dosa besar, meski tidak ada dalil yang secara langsung menyebutkan penggunaan kata korupsi.
Ketua Asosiasi Mahad Aly Indonesia (AMALI), KH Nur Hannan, menjelaskan bahwa ada beberapa kisah tentang korupsi pada zaman Nabi Muhammad SAW. Di antaranya, ghulul atau korupsi yang dituduhkan sebagian pasukan Perang Uhud terhadap Nabi SAW.
“Kalau indikasi perbuatan ghulul atau korupsi dapat dilihat dari peristiwa Uhud. Jadi Perang Uhud sendiri sangat poouler sekali di mana nabi membagikan pasukannya jadi dua, yaitu pasukan pemanah yang ditempatkan di atas bukit dan pasukan lainnya yang ada di bawah bukit,” ujar Kiai Hannan saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (18/5/2023).
Ketika peperangan sudah dimenangkan pasukan Muslim, pasukan pemanah di atas bukit kemudian melihat teman-temannya di bawah sedang mengumpulkan harta rampasan yang ditinggalkan orang-orang kafir.
Lalu mereka pasukan pemanah itu beramai-ramai ikut turun dan ikut berebut harta yang ditinggalkan orang-orang kafir itu.
“Dan ini kemudian dimanfaatkan orang-orang kafir dan mengambil alih tempat yang di atas, kemudian memukul mundur orang-orang Islam sampai kemudian orang Islam kalah dalam Perang Uhud,” ucap Kiai Hannan.
Dalam Perang Uhud yang bersejarah ini, menurut dia, paman Nabi SAW yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib dinyatakan wafat. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri terluka dalam perang ini.
“Jadi pasukan pemanah itu khawatir bahwa teman-temannya di bawah akan melakukan ghulul atau korupsi terhadap harta rampasan yang diperoleh dari orang kafir, sehingga kemudian tidak mengindahkan instruksi dari Nabi SAW dengan meninggalkan tempat mereka di atas bukit,” kata Kiai Hannan.
Jadi, menurut dia, indikasi perbuatan korupsi sudah ada sejak zaman Nabi SAW. Namun, apakah saat itu ada sahabat yang benar-benar melakukan ghulul atau korupsi, Kiai Hannan belum menemukan keterangannya.
“Tapi peringatan nabi dan kejadian dari peristiwa Uhud itu memang ada indikasi kekhawatiran untuk melakukan ghulul itu,” kata Kiai Hannan.
Sementara itu, dalam Alquran telah ditegaskan bahwa seorang Nabi SAW tidak mungkin berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّغُلَّ ۗوَمَنْ يَّغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْممَ الْقِيٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ
Artinya: “Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi.” (QS Ali Imran ayat 161).
Baca juga: Mualaf Theresa Corbin, Terpikat dengan Konsep Islam yang Sempurna Tentang Tuhan
Menurut ulama ahli tafsir dan ahli sejarah, ayat ini turun berkaitan dengan kasus yang terjadi saat Perang Uhud tahun kedua Hijriyah. Pada saat itu pasukan kaum Muslimin menderita kekalahan sangat tragis, para pasukan panah berbondong-bondong turun dari bukit Uhud untuk ikut berebut harta rampasan perang.
Padahal, Rasulullah SAW sejak semula sudah berpesan jangan sekali-kali meninggalkan bukit Uhud.
Namun, mereka melanggar perintah Nabi SAW, bahkan mencurigai Nabi SAW akan menggelapkan harta rampasan perang.
Pada saat Rasulullah SAW mengetahui pasukan pemanah turun dari bukit Uhud, beliau bersabda:
ظَنَنْتُمْ أَنَّا نَغُلَّ وَلَا نُقْسِمُ لَكُمْ " فَأَنْزَلَ اللهُ هَذِهِ الآيَة
“Kalian pasti mengira bahwa kami akan melakukan ghulul, korupsi terhadap ghanimah (harta rampasan perang) dan tidak akan membagikannya kepada kalian!” Pada saat itulah turun Surat Ali Imran ayat 161.