REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak seperti Kota Makkah yang terkenal sebagai kota perdagangan, Madinah adalah sebuah kota yang identik dengan perkebunan. Namun demikian, bukan berarti pasar tak ada sama sekali di sana pada masa Rasulullah SAW.
Ustadz Ahmad Sarwat dalam buku Mengenal Lebih Dekat Kehidupan dalam Zaman Nabi SAW menjelaskan pasar memang ada di Madinah, namun jumlahnya sangat terbatas. Dan belum tentu pasar-pasar itu beroperasi atau buka setiap hari dan belum tentu juga beroperasi seharian penuh.
"Bayangkan saja hari pasaran di Jawa. Pasar Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi itu hanya ramai kalau pas hari pasarannya saja. Biasanya pagi hari. Agak siangan sedikit pasar pun bubar. Jual-beli di pasar pun kadang tidak pakai uang, tapi pakai barang alias barter. Beli beras pakai beras," kata Ustadz Sarwat.
Sehingga dia menyebut kondisi transaksi dan pasar pada masa Nabi di Kota Madinah pun tidak bisa disamakan dengan karakteristik pasar lokal yang ada di Indonesia saat ini. Dijelaskan pula tidak semua transaksi di masa Nabi menggunakan barter, ada pula yang menggunakan uang.
Namun demikian, alat tukar yang digunakan pada masa Nabi masih berupa koin logam. Uang kertas tidak ada. Uang pada masa itu ada yang terbuat dari emas dan dinamakan dinar, yang terbuat dari perak dinamakan dirham, dan yang terbuat dari tembaga atau besi disebut fulus.