Rabu 10 May 2023 04:30 WIB

Perbedaan Hemat dan Pelit

Hidup hemat merupakan kehormatan dan kedermawanan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Ani Nursalikah
Pelit dan mabuk harta (ilustrasi). Perbedaan Hemat dan Pelit
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pelit dan mabuk harta (ilustrasi). Perbedaan Hemat dan Pelit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ulama dan cendekiawan asal Turki Badiuzzaman Said Nursi (1878-1960 M) menjelaskan di antara kesempurnaan kemurahan Allah adalah membuat orang yang paling miskin dapat merasakan kelezatan berbagai nikmat-Nya, sebagaimana yang dirasakan oleh orang yang paling kaya. Sehingga, orang miskin bisa merasakan kelezatan tersebut layaknya penguasa.

“Ya, kelezatan yang dirasakan oleh orang miskin ketika ia memakan sepotong roti kering karena lapar dan hemat melebihi kenikmatan yang dirasakan oleh penguasa atau orang kaya ketika mereka memakan kue mahal dalam kondisi bosan dan tanpa selera akibat berlebihan,” ujar Nursi dikutip dari bukunya yang berjudul Al-Lamaat terbitan Risalah Nur Press halaman 275.

Baca Juga

Namun, sungguh mengherankan, kata Nursi, ada sebagian orang yang hidup boros dan berlebihan menuduh orang-orang yang hemat sebagai orang pelit. “Tidak, sama sekali! Hidup hemat merupakan kehormatan dan kedermawanan. Sementara kehinaan dan sifat pelit ada di balik kedermawanan lahiriah orang-orang yang berlebihan dan boros,” kata Nursi.

Dia pun menceritakan sebuah peristiwa yang berlangsung di rumahnya di Isparta pada tahun selesainya penulisan risalah ini yang menguatkan hakikat di atas. Salah seorang muridnya saat itu terus-menerus memaksa agar Nursi menerima hadiah sekitar tiga kilogram madu di mana hal tersebut menyalahi prinsip hidup yang ia pegang selama ini.

Walaupun Nursi telah berupaya sekuat tenaga menjelaskan pentingnya berpegang pada prinsipnya itu, muridnya tetap tidak merasa puas dengan penjelasannya. Akhirnya, Nursi terpaksa menerimanya dengan niat agar tiga orang saudaranya yang tinggal sekamar bisa bersama-sama memakan madu tersebut secara hemat sepanjang empat puluh hari bulan Sya’ban dan Ramadhan.

“Sehingga si pemberi tadi mendapatkan ganjaran pahala yang besar, juga agar mereka bertiga bisa menikmati sesuatu yang manis. Begitulah aku wasiatkan mereka untuk menerima hadiah tadi, mengingat aku sendiri masih mempunyai sekitar satu kilogram madu,” jelas Nursi.

Meskipun teman-temannya yang tiga orang itu betul-betul istikamah dan hidup hemat. Namun, mereka melupakan wasiat Nursi tadi sebagai buah dari sikap saling memuliakan, sikap untuk menjaga perasaan orang, dan sikap itsar (mengutamakan orang lain), serta sifat-sifat terpuji lainnya.

Mereka pun menghabiskan madu yang mereka miliki hanya dalam tiga malam. Sambil tersenyum Nursi katakan kepada mereka, “Tadinya aku berharap kalian bisa merasakan nikmatnya madu tersebut selama tiga puluh hari atau lebih. Namun ternyata kalian menghabiskannya dalam tiga malam saja. Kuucapkan selamat kepada kalian.”

Sementara Nursi mempergunakan madu yang dimilikinya secara hemat. Ia bisa mengonsumsinya sepanjang bulan Sya’ban dan Ramadhan. “Di samping alhamdulillah ia menjadi sebab bagi datangnya pahala yang besar. Sebab, aku bisa memberikan kepada masing-masing mereka sesendok madu di saat berbuka,” kata Nursi.

Barangkali orang-orang yang menyaksikan kondisinya menganggap apa yang Nursi lakukan sebagai sikap pelit, sementara tindakan yang dilakukan oleh teman-teman pada tiga malam itu sebagai sebuah kedermawanan.

“Namun, ternyata kita menyaksikan di balik sikap pelit lahiriah tersebut ada kemuliaan yang tinggi, keberkahan yang luas, dan pahala yang besar. Sebaliknya, di balik kemuliaan dan hidup berlebihan itu ada sikap meminta-minta dan mengharap bantuan orang. Tentu saja hal ini jauh lebih hina daripada sikap pelit di atas,” kata Nursi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement