REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ulama dan cendikiawan asal Turki, Badiuzzaman Said Nursi (1878-1960 M) menjelaskan bahwa rezeki terbagi menjadi dua, yaitu rezeki hakiki dan rezeki majazi. Jenis rezeki yang disebut terakhir, menurut Nursi, berada di luar jaminan Tuhan.
"Ya, rezeki terbagi dua. Pertama, rezeki hakiki yang menjadi ketergantungan hidup seseorang. Rezeki tersebut dijamin Allah SWT sesuai dengan bunyi ayat surat Hud ayat 6)," ujar Nursi dikutip dari bukunya yang berjudul Al-Lamaat terbitan Risalah Nur Press halaman 272. Surat Hud ayat 6 tersebut adalah:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).”
Nursi mengatakan, setiap orang bisa memperoleh rezeki tersebut jika ikhtiar buruk manusia tidak ikut campur, tidak sampai mengorbankan agamanya, serta tidak menggadaikan kehormatan dan harga dirinya.
Kedua, rezeki majazi. Menurut Nursi, orang yang menyalahgunakan rezeki jenis ini akan terbelenggu kebutuhan yang tidak penting di mana kemudian berubah menjadi kebutuhan pokok baginya akibat penyakit taklid (sikap meniru orang lain).
"Karena rezeki ini berada di luar jaminan Tuhan, maka biaya untuk memperolehnya sangat mahal, khususnya di zaman sekarang ini," ucap Nursi.
Menurut Nursi, harta tersebut seringkali diperoleh dengan cara menggadaikan kehormatan. Bahkan meskipun dengan mencium kaki orang. Lebih dari itu, kadangkala harta yang buruk dan tidak berkah tersebut harus dibayar dengan mengorbankan kesucian agama, padahal ia merupakan cahaya kehidupan yang abadi.
Selanjutnya, kata Nursi, kepedihan yang lahir dari rasa kasihan kepada sesama lantaran kondisi yang dialami orang-orang lapar pada zaman di mana kemiskinan merajalela membuat para pemilik hati nurani merasa sedih jika masih memiliki hati nurani sehingga kenikmatan yang didapatkan dari harta haram menjadi pahit.
Baca juga: 22 Temuan Penyimpangan Doktrin NII di Pesantren Al Zaytun Menurut FUUI
Pada zaman yang aneh ini, seseorang harus membatasi diri dengan bingkai darurat dalam mempergunakan harta yang masih meragukan. Sebab, ada kaidah yang berbunyi:
الضرورات تُقدَّر بقدرها “Darurat dihitung sesuai kadarnya.”
Atas dasar itu, tambah Nursi, harta yang haram bisa diterima secara terpaksa dalam batas darurat, tidak lebih dari itu. Seseorang yang terpaksa tidak boleh memakan bangkai hingga kenyang.
Tetapi dia boleh memakan bangkai tersebut untuk sekadar bertahan hidup. Selain itu, tidak boleh memakan makanan secara lahap di hadapan ratusan orang lapar.