Senin 08 May 2023 03:42 WIB

Kepiawaian Politik Muawiyah di Mata Buya Hamka

Buya Hamka mencatat tentang kiprah politik Muawiyah.

 Kepiawaian Politik Muawiyah di Mata Buya Hamka. Foto: Tafsir Al Azhar Buya Hamka
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS --Prof Dr Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, ketua umum MUI pertama, dalam bukunya Sejarah Umat Islam, mencatat tentang kepiawaian Muawiyah dalam berpolitik. Buya Hamka menuliskan, Muawiyah adalah seorang yang panjang akal, cerdik, cendikiawan, bijaksana, serta luas ilmu dan strateginya.

“(Muawiyah) pandai mengatur pekerjaan, ahli hikmah, lemah lembut, fasih lidahnya dan berarti tutur katanya,” tulis Buya Hamka.

Baca Juga

Buya Hamka menuliskan, siapapun orang yang mendekat kepada Muawiyah, jarang tidak terikat oleh tutur katanya. Dia pemaaf pada tempat yang pantas dimaafkan, keras pada tempat yang layak untuk dikeraskan.

“Tetapi lebih banyak maafnya dari marahnya,” tulis Buya Hamka.

Sebagai contoh, sahabat-sahabat Nabi yang merupakan anak-anak kalangan Quraisy pernah datang kepadanya seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdurrahman bin Abu Bakar, dan beberapa keturunan dari Abu Thalib (yang pernah berselisih dengannya), semuanya diterima dengan muka yang jernih dan bibir tersenyum. Ada yang memaki Muawiyah dia tersenyum juga, ada yang menyindirnya dia tersenyum juga.

“Sindiran orang-orang itu seakan-akan tidak didengarnya dan bila mereka kembali ke negerinya masing-masing, semuanya diberi anugerah selayaknya,” tulis Buya Hamka.

Muawiyah dikenal sebagai negarawan dan praktisi politik yang sangat ulung. Ungkapannya yang terkenal adalah, “Aku tidak akan menggunakan pedangku selagi cambukku sudah cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selagi lisanku masih bisa mengatasinya. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan penentangku, maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka mengulurkannya, maka aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya.”

Buya Hamka juga mencatat Muawiyah sebagai orang yang berambisi. Soal hal ini, Buya Hamka menuliskan kisah ketika Muawiyah tidur berlepas lelah dekat saudara perempuan Ummul Mukminin Ummi Habibah dan kepalanya terletak di atas haribaan beliau. Maka, masuklah Nabi Muhammad ke dalam. Dengan segera Ummi Habibah menghindarkan kepala adiknya yang disayanginya itu.

Kemudian, Nabi berkata "Sayangkah engkau akan adikmu itu, hai Ummi Habibah? Patutlah dia disayangi! Kelak dia akan menjadi orang besar Arab seluruhnya."

Muawiyah pun berkata, "Sabda inilah yang amat mempengaruhi jiwaku, hingga sejak saat itu tidak lepas-lepas ingatanku keinginan menjadi orang besar."

Memang, di masa Muawiyah menjadi khalifah, umat Islam memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Tidak hanya penyebaran agama Islam, tetapi juga sejumlah penemuan tentang ilmu pengetahuan.

Ketika Byzantium mengerahkan tentaranya untuk memperluas jajahannya, mereka tiba di beberapa daerah kekuasaan Muawiyah. Untuk mengusir tentara Byzantium itu, Muawiyah mengerahkan 1.700 kapal perang kecil yang mampu menghalau pasukan musuh. Dengan tidak mengenal lelah, umat Islam saat itu menaklukkan pulau Cyprus dan Rhodus di Laut Tengah.

Di samping itu, pada tahun 50 Hijriyah, Muawiyah mengangkat Uqbah bin Nafi’ menjadi gubernur di Maroko di utara Afrika. Dengan 10.000 pasukan ia berhasil mengalahkan orang-orang Romawi. Ia juga dapat mengalahkan penduduk asli Afrika. Lebih dari itu semua, ia telah meletakkan pondasi Daulah Umawiyah yang telah mengharumkan nama Islam selama ratusan tahun.

Dilihat dari karier politik kenegaraannya, Muawiyah telah menjabat sebagai gubernur di Palestina selama 10 tahun, di Syam 10 tahun, serta sebagai Khalifah Daulah Umawiyah selama 20 tahun. Sahabat Nabi itu meninggal dunia pada Kamis pertengahan Rajab 60 Hijriyah dalam usia 78 tahun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement