Ahad 07 May 2023 08:38 WIB

Mengenal Syekh Yasin Al Fadani dari Muridnya, KH Ahmad Marwazie Al-Batawie

KH Ahmad Marwazie Al-Batawie adalah murid Syekh Yasin Al Fadani.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
KH Ahmad Marwazie Al-Batawie, murid Syekh Yasin Al Fadani.
Foto:

4. Bagaimana rutinitas Syekh Yasin Al-Fadani?

Jadi, kalau malam Kamis atau malam Senin beliau biasanya di Madrasah Darul Ulum. Kemudian, sehabis Isya' terutama di bulan puasa itu selalu ada khataman hadits Bukhari. Jadi kita lebih intens kalau bulan puasa, karena memang libur.

Kemudian, beliau juga membuat seacam tour umrah pada bulan puasa bersama murid-muridnya dan juga guru-guru sekolah Darul Ulum, khususnya pada tanggal-tanggal ganjil, seperti tanggal 21, 23 atau 27 Ramadhan.

Jadi, di rumah Syekh Yasin itu tidak pernah berhenti kegiatan mengaji. Murid-muridnya datang hanya untuk istifadah, kadang cuma satu orang dari Yaman, dari Suriah, Mesir, atau dari Yordan. Kalau beliau gak lagi capek, pasti beliau terima.

Wajar jika orang banyak datang ke beliau, karena beliau afalag seorang alim, mendapat gelar Musnidul 'Ashr dan sekaligus Musnidud Dunya. Gelar itu disampaikan oleh Sayyid Abdullah Wahid bin Muhammad ketika dia datang haji tahun 1410 Hijriah di depan murid-muridnya. Syekh Abdullah itu memberikan julukan tersebut bukan atas dasar dari dirinya, tapi atas dasar apa yang dilihat, dibaca, dan dikethaui tentang riwayat Syekh Yasin yang luar biasa.

5. Bagaimana riwayat Syekh Yasin itu?

Jadi kalau kita urut, Syekh Yasin itu gurunya lebih dari 700 orang. Kadang-kadang saya tidak sampai cara berpikirnya, bagaimana cara beliau mengajinya. Guru-gurunya itu dari berbagai macam belahan dunia, dari Pakistan, dari India, dari Baghdad, dari Mesir, dari Suriah, dari Yordan, dari Madinah, dari Yaman, dan dari Indonesia.

Kalau dari Indonesia itu Syeikh Baqir Al-Jogjawi, kemudian kepada Syekh Hasyim Asy’ari belajar hadis, fikih, usuhul fikih, falak, dan bahasa. Dan banyak lagi guru-gurunya yang lain.

photo
Kondisi saat ini Madrasah Darul Ulum Makkah yang didirikan Syekh Yasin Al Fadani - (Dok: KH Ahmad Marwazie Al-Betawie)

 

6. Syekh Yasin tidak hanya dikenal kealimannya, tapi juga seorang ulama yang cinta Tanah Air? 

Ya beliau itu terkenal sangat cinta Tanah Air sejak Aman masih jadi pelajar. Jadi, pada waktu perang dunia kedua, beliau masih sekolah di Madrasah Al-Shaulatiyah. Nah, ketika di madrasah itu, biasanya datang koran dari Indonesia yang pakai bahasa Melayu. Namun, mudir Shaulatiyah tampaknya marah ketika Syekh Yasin membaca koran dari Indonesia. 

Sebagai warga Indonesia, Syekh Yasin tentu punya kepentingan untuk mengetahui kabar tentang Indonesia yang berada dalam penjajahan. Namun,  di sana ada diskriminasi. Mudirnyq kayaknya tidak senang dengan orang-orang Indonesia dan mungkin ada omongan yang menyinggung dengan bangsa kita, akhirnya Syekh Yasin keluar dari Shaulatiyah.

Akhirnya, beliau mendirikan sekolah Darul Ulum.  Jadi, itu ada hikmahnya juga. Kalau tidak seperti itu mungkin Syekh Yasin mungkin tidak akan membuat madrsah. Jadi Allah sudah atur semua itu dan sudah waktunya Syekh Yasin untuk membuat sekolah independen itu. Nah orang-orang Indonesia yang lain akhirnya juga pindah ke Sekolah Darul Ulum.

Jadi, keindonesiaan beliau tidak hilang. Karena, beliau memang berdarah Indonesia, guru-gurunya pun banyak dari Indonesia. KH Hasyim Asy’ari juga seirng murasalah dan bahkan bertemu di Makkah, sehingga akhirnya banyak komunikasi dengan Sykeh Yasin tentang posisi NU dan juga kebangsaan. Karena itu, beliau pasti punya perhatian terhadap Indonesia.

7. Bagaimana Syekh Yasin memiliki perhatian terhadap ilmu sanad? 

Nah ini tugas yang saya emban. Jadi, Syekh Yasin dulu pernah ke Indonesia beberapa kali dan bertemu dengan ulama-ulama sepuh yang mengalami masa kejayaan waktu di Makkah. Kemudian, beliau meminta riwayat dari ulama-ulama sepuh di Indonesia dan menanyakan siapa guru-guru mereka dulu di Makkah. Tapi, ternyata mereka tidak menulis. Mereka tidak membukukan perjalanan biografinya.

Sedangkan Syekh Yasin sangat aktif menulis biografi guru-gurunya dengan sangat detail. Jadi semua karya-karya beliau tentang sanad itu beliau tulis sendiri, apa yang dialaminya, apa yang dibaca dan bagaimana ketika bergaul dengan gurunya.

Tapi saat keliling ke sejumlah daerah di Indonesia bertemu ulama-ulama, ternyata beliau tidak menulis riwayat gurunya. Maka, Syekh Yasin agak kecewa. Sehingga, akhirnya beliau mulai menulis sendiri tentng riwayat guru-gurunya. Karena, kalau beliau meninggal, ilmu riwayat di Indonesia akan redup.

Jadi pada tahun 1970-an samapi 1979 itu beliau benar-benar luar biasa, kayak murka, kenapa kok ulama-ulama besar mereka itu tidak menulis guru-gurunya. Sehingga ilmu-ilmu itu hilang riwayatnya. Untuk itulah saya ditugaskan untuk membantu menurunkan, menyalin dari manuskripnya beliau ke tulisan saya untuk dicetak.

Alhamdulillah mulai sejak itu, murid-muridnya di Indonesia seperti Kiai Damanhuri, Kiai Zakwan, kemudian saya ayng ikut membantu supaya bisa tercetak. Alhamdulillah akhirnya bisa dicetak. Dari situ lah tersebar.

Makanya, sebelum saya pulang, beliau itu berpesan, sebarluaskan ilmu riwayat ini, biar orang Indonesia terus mempunyai ilmu riwayat sampai kepada rasul. Jadi, orang Indonesia harus tersambung kepada Rasulullah SAW. Jangan sampai terputus. Ayo hidupkan semua, yang pulang hidupkan riwayat, tidak usah pelit. Begitu kira-kira pesan beliau.

Akhirnya setelah saya pulang tahun 88, saya baru mulai menyabarkan itu. Waktu itu belum ada pengajian riwayat. Kemudian, saya memulai pengajian bersanada itu Zawiyah Arraudhah. Nah, sekarang kan itu mulai mengikutin, daurah bersanad, daurah bersanad kan gitu. Itu awalnya di Zawiyah. Itu cikal bakal ketika ketika Syekh Yasin berpesan, ‘ente Marwazie kalau pulang ini harus ente baca’.

 

Jadi pada tahun 1988 saya balik, tiga bulan kemudian beliau datang ke Indonesia. Itulah akhir ziarahnya Syekh Yasin ke Indonesia. Akhirnya tahun 90 beliau wafat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement