Kamis 04 May 2023 07:16 WIB

Haul Guru Tua Habib Idrus Bin Salim Dihadiri Puluhan Ribu Orang, Siapa Dia?

Guru tua merupakan pendakwah Islam yang jadi teladan warga Sulawesi.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Erdy Nasrul
Habib Idrus bin Salim al Jufri alias Guru Tua duduk di tengah
Foto:

Hingga akhirnya, Lembaga Pendidikan Islam Alkhairaat diresmikan pada tanggal 14 Muharram 1349 H atau 30 Juni 1930. Di masa awal, tempat lembaga tersebut melakukan aktivitas belajar-mengajarnya adalah di lantai bawah rumah Haji Daeng Marocca.

Masyarakat setempat kala itu tergolong sangat terbelakang dalam memahami ajaran Islam, sehingga inilah yang membuat Guru Tua terinspirasi untuk menancapkan jejak dakwahnya dengan kuat di Palu. Ada satu strategi yang dijalankan oleh Guru Tua agar dakwah melalui pendidikan ini bisa dapat diterima di kalangan masyarakat.

Strategi diperolehnya setelah menerima saran dari sejumlah tokoh masyarakat. Sampai kemudian, Guru Tua memutuskan menikahi salah seorang bangsawan Puteri Kaili, bernama lengkap Hj. Ince Ami, yang akrab disebut Ite. Ite adalah janda dengan kepemilikan banyak toko dan tanah, dan dia menjadi sosok penting dalam mengembangkan Yayasan Alkhairaat Pusat. Sosok Ite ibarat Siti Khadijah, yang berperan besar membantu Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan dakwah Islam di masa awal.

Alkhairaat didirikan saat Guru Tua berusia 41 tahun. Guru Tua menjadi inspirator terbentuknya sekolah di berbagai jenis dan tingkatan di Sulawesi Tengah. Alkhairaat pun berkembang terus di kawasan timur Indonesia.

Aral Melintang Perjuangkan Alkhairaat 

Selama melakukan proses belajar mengajar di Alkhairat, Habib Idrus atau Guru Tua tidak memungut biaya dari murid-muridnya. Tujuannya untuk menjaga konsentrasi murid-muridnya. Model sekolah gratis ini, ia ambil dari sistem pendidikan di dunia Arab yang umumnya dilaksanakan secara cuma-cuma.

Adapun untuk membayar gaji para guru yang membantu mengajar, Habib Idrus menggunakan hasil perniagaan. Berkat keikhlasan dan keuletan, perguruan Alkhairaat terus berkembang dan mencetak para kader ulama dan pendakwah yang militan. Mereka tersebar di seluruh pelosok Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua.

Perguruan Alkhairaat dan para santrinya berperan besar membendung aksi misionaris di kawasan Indonesia timur. Pada masa Hindia Belanda, terdapat tiga organisasi yang bertugas mengkristenkan suku-suku terasing di Sulawesi Tengah di antaranya Indische Kerk (IK) berpusat di Luwu, Nederlands Zending Genootschap (NZG) berpusat di Tentena, dan Leger Dois Hest (LDH) berpusat di Kalawara.

Perjalanan setelah Alkhairaat berdiri tidak mudah, terutama karena ada tekanan dari Jepang. Pada 11 Januari 1942, Jepang menduduki Sulawesi dan menjadikan Manado sebagai pusat pangkalan di kawasan timur Indonesia. Jepang memerintahkan menutup Alkhairaat.

Secara kelembagaan, Alkhairaat memang ditutup, tetapi proses belajar mengajar tetap berjalan dengan sembunyi-sembunyi di Desa Bayoge, 1,5 kilo meter dari lokasi Alkhairaat berada. Aktivitas belajar-mengajar berlangsung di malam hari dengan hanya menggunakan penerangan seadanya. Para murid datang satu per satu secara sembunyi-sembunyi. Usai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Habib Idrus kembali membuka Perguruan Alkhairaat secara resmi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement