REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Manusia ditekankan untuk menjadi hamba Allah yang terus mengabdi. Pengabdian seorang hamba dapat diukur dari amalan yang ia lakukan semasa hidup, bekerja bisa menjadi sarana ibadah dalam kerangka syariat Islam.
Lantas bagaimana hukumnya jika sengaja tak bekerja padahal mampu secara fisik dan mental? Allah SWT memerintahkan manusia untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Dalam Alquran Surah An Naba ayat 11, diisyaratkan bahwa Allah telah menciptakan siang untuk bekerja dan malam untuk istirahat, serta menjadikan bumi yang luas ini untuk mencari nafkah.
“Yang harus menjadi kesadaran kita secara kolektif bahwa kerja itu adalah ibadah. Itu harus menjadi satu kesadaran, tidak hanya kesadaran intelektual, tapi juga kesadaran spiritual,” kata Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi sebagaimana dilansir di Suara Muhammadiyah, Senin (1/5/2023).
Islam bukan hanya agama yang menekankan umatnya untuk melakukan ibadah yang sifatnya individual. Lebih dari itu, umat Islam bahkan ditekankan untuk melakukan amal usaha sebagai eksistensi diri dalam upaya menggenjot kebaikan di muka bumi.
Pimpinan Ponpes Mahasiswa Al-Hikam KH Muhammad Yusron Shidqi menjelaskan, bekerja dalam tujuan untuk mencari mata pencaharian sangat dienjurkan dan diprioritaskan dalam Islam. Sebab umat Islam, kata dia, sangat dianjurkan untuk bergerak dan berbuat dalam kebaikan.
"Bahkan Rasulullah berpesan bahwa Muslim yang kuat (baik secara fisik, intelektual, dan ekonomi) lebih disukai Allah," kata Gus Yusron saat dihubungi Republika, Senin (1/5/2023).
Menurut dia, seseorang perlu untuk memenuhi kebutuhan diri. Sebab kefakiran dapat memicu kekufuran dan terlebih kefakiran itu sendiri dapat memicu dampak-dampak sosial yang muncul dalam masyarakat. Dia menekankan bahwa Rasulullah sendiri sangat menyukai umat Islam yang mandiri dan berdikari atau bekerja.
Pernah suatu ketika saat Nabi mengisi sebuah majelis, kemudian seorang sahabat meninggalkan majelis tersebut. Sahabat lainnya pun mengadu kepada Rasulullah perihal itu, dan Rasulullah berkata, "Jika dia pergi dari majelisku untuk bekerja, dia fi sabilillah,".
Artinya, hal demikian merupakan penegasan Nabi tentang pentingnya bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidup dalam Islam. Di sisi lain, Gus Yusron menjabarkan tentang manfaat bekerja. Menurut dia, bekerja dapat menghadirkan banyak manfaat seperti mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjadi pribadi yang lebih terhormat, dan dapat menjadi pribadi yang lebih sehat dan bahagia secara psikologis.
Adapun esensi bekerja baik di masa Rasulullah SAW maupun era sekarang dinilai sama. Adapun formatnya berbeda-beda akibat hadirnya perubahan-perubahan zaman di masing-masing era.
Di era sekarang, kata dia, umat Muslim harus bisa bekerja baik bekerja yang mengandalkan fisik, efektivitas, dan juga kecepatan.
Hukum menganggur padahal mampu bekerja
Cendikiawan Muslim Musa Asy'arie menjelaskan bahwa bekerja sejatinya harus dipahami seorang Muslim sebagai suatu keharusan, bukan karena ia takut akan kemiskinan semata. Sebab, menurut Musa, bekerja mengandung nilai ibadah yang merupakan bagian dari amal shaleh.
"Bekerja dalam pandangan Islam mengandung nilai ibadah," kata Musa.
Karena bekerja bukan serta-merta dibayangi ketakutan terhadap kemisikinan, melaksanakan kerja dengan tekun pun bukan semata-mata untuk mendapatkan harta kekayaan saja. Lebih dari itu, dia menilai, pemahaman tentang bekerja harus berdasarkan sebagai tuntutan kualitas untuk diri dalam beribadah.
Berdasarkan hal demikian, melalui kerja dan amal usaha maka tinggi rendahnya martabat manusia dapat diukur dari kualitas usaha kerjanya. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al-Ahqaf ayat 19, "Wa likulli darajaatun mimma amiluu, waliyuwaffiyahum a'maalahum wa hum laa yuzhlamun,".
Yang artinya, "Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan,".
Dalam fikih, sesuatu yang diwajibkan bila dikerjakan secara benar maka akan menghasilkan kebaikan dan pahala dari Allah. Sebaliknya, jika ia ditinggalkan maka akan menghasilkan keburukan dan dosa. Dalam kerangka berpikir demikian, maka malas atau tidak bekerja bisa dikategorikan sebagai perbuatan dosa dan sia-sia.