Jumat 28 Apr 2023 09:20 WIB

Benarkah Shaf Wanita di Belakang Laki-Laki tak Mulia?

Islam mengatur posisi wanita dalam sholat.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Benarkah Shaf Wanita di Belakang Laki-Laki tak Mulia?. Foto:   Viral sholat campur laki-laki dan perempuan di Zaytun
Foto: republika
Benarkah Shaf Wanita di Belakang Laki-Laki tak Mulia?. Foto: Viral sholat campur laki-laki dan perempuan di Zaytun

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Tak sedikit orang yang berpendapat bahwa agama Islam itu bukanlah agama yang tidak menghargai wanita. Perempuan dalam Islam distigamatisasi sebagai separuh manusia, benarkah demikian?

Pandangan sinis terhadap Islam demikian dengan membawa-bawa konsep kesetaraan gender adalah kekeliruan besar. Salah satunya adalah pandangan mengenai posisi shaf sholat perempuan yang ada di belakang laki-laki.

Baca Juga

Dalam Islam, perempuan tak boleh dijadikan imam laki-laki dan selalu ditempatkan di shaf belakang. Benarkah hal demikian tak memuliakan perempuan? Apakah itu menjadi indukator konsep kesetaraan gender?

KH Ali Mustafa Yaqub dalam buku Imam Perempuan menjelaskan, dalam agama Islam sholat merupakan sebuah perbuatan di mana hamba Allah SWT bermunajahah atau beraudiensi dengan Khaliknya. Dalam saat-saat seperti itu diperlukan kekhusyukan.

 

Banyak hadits yang mengatur posisi perempuan, dan apa yang harus perempuan lakukan ketika sedang sholat dengan kaum laki-laki. Misalnya, tentang posisi perempuan ketika sholat berjamaah dengan kaum laki-laki. 

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, “Shaf (barisan dalam shalat) yang terbaik bagi laki-laki adalah shaf depan, dan shaf yang terburuk bagi mereka adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf terbaik bagi kaum perempuan adalah shaf yang terakhir dan yang terburuk bagi mereka adalah shaf terdepan.” 

Dijelaskan bahwa hadits ini secara kontekstual diartikan dalam konteks sholat berjamaah yang terdiri dari kaum laki-laki dan perempuan. 

Yang mana posisi kaum perempuan berada di belakang kaum laki-laki, dan di antara mereka tidak ada tabir seperti yang terjadi pada masa Nabi SAW.

Shaf perempuan yang terdepan berdekatan dengan shaf laki-laki dengan shaf yang terakhir. Kedekatan ini akan mengundang munculnya gangguan-gangguan, antara lain ketidakkhusyukan dalam sholat. 

Di beberapa masjid di Indonesia, kata Kiai Ali, banyak masjid yang menggunakan tabir atau tirai sebagai pemisah antara kaum laki-laki dengan perempuan.

Namun demikian meskipun kaum perempuan ada di belakang, para ulama berpendapat bahwa hal ini boleh saja dan bahkan lebih menjauhkan kaum perempuan dari gangguan-gangguan itu. 

Sedangkan posisi wanita yang berada di shaf samping laki-laki, sebagian ulama berpandangan bahwa hal itu makruh.

Namun sebagian ulama lainnya berpendapat apabila antara laki-laki dengan perempuan ada tabir pemisah sehingga laki-laki tidak dapat melihat perempuan dan sebaliknya, dan tentunya hal itu tidak menimbulkan gangguan kekhusyukan di kalangan mereka. Para ulama kalangan ini menghukumi boleh.

Sebagai catatan, Kiai Ali menekankan, kekhusyukan dalam sholat menjadi prioritas, sehingga orang yang sholat dapat berkonsentrasi ketika bermunajah kepada Allah SWT. Betapa tidak? 

Ketika seorang imam melakukan kesalahan dalam sholat misalnya, makmum laki-laki agar meningkatkan dengan membaca tasbih (subhanallah), artinya ia bersuara.

Sedangkan makmum perempuan tidak boleh bersuara. Dia cukup mengingatkan dengan bertepuk tangan saja. Nabi SAW bersabda, "(Cara makmum mengingatkan imam yang melakukan kekeliruan adalah) membaca tasbih bagi kaum laki-laki, dan menepuk tangan bagi kaum perempuan.” 

Suara perempuan kendati tidak tergolong aurat, di dalam sholat dapat mengganggu kekhusyukan sholat bagi kaum laki-laki. Apabila posisi perempuan berada di depan laki-laki dalam sholat berjamaah, maka bukan hanya suara saja yang dapat mengganggu kekhusyukan mereka, melainkan tubuh perempuan itu sendiri juga dapat lebih mengganggu kekhusyukan laki-laki.

Dalam sebuah hadits disebutkan, "Perempuan, keledai, dan anjing hitam dapat memutus (mengganggu kekhusyukan) sholat.” Kiai Ali menjelaskan, hadits tersebut diartikan dalam konteks sholat berjamaah dalam alam terbuka. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement