REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Islam tidak melarang perkara utang-piutang, namun Islam mengaturnya agar umat Muslim tidak salah arah dalam memahami perkara tersebut. Salah satu yang diatur adalah mengenai hawalah atau pengalihan utang.
Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri dalam kitabnya berjudul Minhajul Muslim menjelaskan, hawalah merupakan pengalihan atau pemindahan utang dari satu pengutang kepada pengutang lainnya. Misalnya, pihak A mempunyai utang kepada pihak B, kemudian pada waktu bersamaan diia juga mempuyai utang kepada C dengan jumlah yang sama dengan piutang yang dimilikinya.
Maka ketika pemilik piutang menagihnya, ia menjawab: “Aku pindahkan pembayaran utangku kepada pihak B karena ia pun mempunyai utang kepadaku dalam jumlah yang sama dengan utangku kepadamu. Maka tagihlah pembayarannya kepadanya. Jika pihak C menerima pengalihan tersebut, niscaya utang pihak A dianggap lunas,”.
Syekh Abu Bakar Jabir menjelaskan, hukum hawalah adalah boleh. Bahkan dalam kondisi tertentu, dapat diwajibkan kepada penerima pengalihan utang untuk menerima pengalihan tersebut. Jika piutangnya dialihkan kepada orang kaya, Rasulullah SAW bersabda:
“Mathlul-ghaniyyi zhulmun wa idza utba’a ahadukum ala mali’in falyatba’,”. Yang artinya: “Penundaan pembayaran utang tanpa udzur oleh orang kaya adalah suatu kezhaliman. Jika salah seorang di antara kamu dilimpahkan piutangnya kepada orang kaya, maka hendaklah dia menerimanya,”.