REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap orang yang beriman diwajibkan menunaikan ibadah puasa Ramadhan sebagaimana orang-orang terdahulu. Lalu, bagaimana puasanya umat terdahulu?
Merujuk Alquran surah al-Baqarah ayat 183, Allah SWT berfirman sebagai berikut ini terkait dengan perintah puasa:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِنن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Pakar tafsir Alquran yang juga Pengasuh Pesantren Pasca Tahfidz Bayt al-Qur’an- PSQ Jakarta, KH Syahrullah Iskandar, mengatakan puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada umat Nabi Muhammad SAW pada tahun kedua Hijriyah.
Artinya, Rasulullah SAW berpuasa Ramadhan hanya sembilan kali dalam hidupnya. Sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, masyarakat Arab telah mengenal bulan itu.
"Terkait term Ramadhan, nama bulan itu telah dikenal sejak dahulu yang biasanya bertepatan dengan cuaca yang panas. Ibnu Manzhur memaknainya dari kata ramadh karena seorang yang berpuasa berpengaruh pada hawa kerongkongannya karena dahaga," kata kiai Syahrullah kepada Republika,co.id, beberapa hari lalu.
Lalu, bagaimana orang-orang terdahulu berpuasa? Kiai Syahrullah mengatakan ibadah puasa telah ada dan dilaksanakan oleh umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Hanya saja, tata cara dan jangka waktu pelaksanaan berbeda dengan puasa yang diperintahkan umat Islam.
"Berpuasa sebagai rukun ibadah (rukn ta’abbudi) memang telah ada di agama-agama sebelum Islam. Ada yang berpuasa dari semua jenis makanan, ada juga yang hanya berpuasa dari jenis makanan tertentu. Jumlah hari berpuasanya juga berbeda. Salah satu buktinya adalah bahwa jauh sebelum Islam, tepatnya setiap hari Asyura (10 Muharram) kalangan Arab dan masyarakat jahiliah berpuasa. Ini juga menjadi dalil bahwa nama-nama bulan dalam penanggalan Hijriyah juga telah dikenal sebelum masa Nabi Muhammad SAW," kata Kiai Syahrullah yang juga menjabat sebagai wakil sekjen Pengurus Pusat Hebitren Indonesia.
Menurut Kiai Syahrullah, redaksi kama kutiba ‘alalladzina min qablikum dalam surah al-Baqarah ayat 183 turut menguatkan kewajiban berpuasa bagi umat-umat terdahulu. Hanya saja, tata cara dan jangka waktu pelaksanaan berbeda dengan puasa yang diperintahkan umat Islam.
Kiai Syahrullah mengutip keterangan ulama Al Azhar Mesir, Mahmud Syaltut, menyatakan bahwa berpuasa merupakan kebutuhan fitrah yang sangat dibutuhkan oleh manusia sedari dulu.
Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?
Selain berpuasa sebagai sebuah metode untuk mendidik manusia (manhaj li-tarbiyah insan fi al-adyan), berpuasa juga mengandung nilai solidaritas sosial (tadhamuniyah).
Dengan puasa, manusia terlatih mengendalikan nafsu hayawaniyah (kebinatangan), sehingga manusia semakin menonjolkan dimensi malakiyah dalam kata dan perbuatannya.
Berpuasa juga melatih kesabaran yang merupakan pangkal kebaikan. Berpuasa berimplikasi juga pada rasa tenggang rasa, yang berpunya juga bisa merasakan kehidupan yang tidak berpunya, dan aneka kegiatan sosial di sekitar puasa yang memupuk solidaritas sosial.
Junaid al Baghdadi menyebut puasa merupakan setengah dari metode tasawuf. Bahkan, al Hujwiri menyebut puasa mencakup semua metode tasawuf, karena hakikat puasa adalah kezuhudan.