Kamis 16 Mar 2023 23:10 WIB

Sa'id bin Al Musayyab Mengambil Ilmu dari Sahabat dan Istri Nabi Muhammad

Sa'id bin Al Musayyab merupakan salah seorang ulama terkemuka di Madinah.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Sa'id bin Al Musayyab Mengambil Ilmu dari Sahabat dan Istri Nabi Muhammad. Foto: Infografis Tiga Kepribadian Nabi Muhammad yang Penyayang
Foto: Republika.co.id
Sa'id bin Al Musayyab Mengambil Ilmu dari Sahabat dan Istri Nabi Muhammad. Foto: Infografis Tiga Kepribadian Nabi Muhammad yang Penyayang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sa'id bin Al-Musayyab merupakan salah satu dari para ulama ahli fikih yang tujuh di Madinah. Dia turut mengambil ilmunya dari para sahabat senior dan istri-istri nabi.

Dikutip dari buku Kisah Para Tabiin oleh Syaikh Abdul Mun'im Al-Hasyimi, lImu dan Fikihnya Telah disebutkan di dalam berbagai kitab Sirah bahwa Sa’id bin Al-Musayyab pernah meriwayatkan dari Umar, akan tetapi kita mengira bahwa dia meriwayatkan dari seorang rawi yang meriwayatkan dari Umar dan dia tidak mendengar langsung dari Umar, karena menurut riwayat yang telah disebutkan sebelumnya Umar telah meninggal dunia delapan tahun empat bulan setelah kelahiran Sa’id. Akan tetapi nanti kita akan melihat bahwa Sa’id bin Al-Musayyab sendiri mengatakan, “Tidak tersisa seorang pun yang lebih mengetahui tentang seluruh hukum yang diputuskan oleh Rasulullah ﷺ , Abu Bakar maupun Umar, daripada aku.”

Baca Juga

Bahkan dia pernah mengatakan, “Dan (tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui) seluruh hukum yang diputuskan oleh Umar daripada aku.” Sa’id bin Al-Musayyab dianggap orang yang paling pandai di antara para ulama Madinah pada zamannya.

Dia mengambil ilmunya itu dari para sahabat Rasulullah ﷺ yang senior baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Mengenai hal tersebut, dia mengatakan, “Aku mengambil ilmuku ini dari Zaid bin Tsabit.”

Sa’id bin Al-Musayyab juga mengambil ilmunya dari majelis-majelis para sahabat senior, dia pernah menghadiri majelis Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhum.

Dia juga mendatangi rumah istri-istri Nabi ﷺ, seperti Aisyah Ummul Mu’minin, lalu mempelajari fikih serta ilmu darinya, sebab dia memandang pertanda baik dari sabda Rasulullah ﷺ, “Ambillah agama kalian dari Humaira’ ini (maksudnya adalah Aisyah).” Juga Ummu Salamah istri Nabi ﷺ.

Sa’id bin Al-Musayyab juga meriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan, Ali, Shuhaib, dan Muhammad bin Maslamah. Dikatakan pula dari Sa’id bin Al-Musayyab bahwa dia adalah orang yang paling banyak meriwayatkan dari Umar Radhiyallahu Anhu karena dialah orang yang paling hafal tentang seluruh hukum dan keputusannya.

Dari sekian banyaknya para ulama ahli ra’yu dan ilmu, Sa’id bin Al-Musayyab menjadi ahli fikih Madinah yang pertama, dan dia termasuk yang paling terkenal di antara para ahli fikih yang tujuh di Madinah, bahkan dia telah memberikan fatwa ketika para sahabat Rasulullah ﷺ masih hidup. (Alamul Mauqiin)

Salah seorang yang hidup se-zaman dengannya berkata, “Pemimpin Madinah pada masanya yang memberikan fatwa kepada mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyab.” (Thabaqat Ibnu Saad)

Sa’id bin Al-Musayyab rahimahullah adalah orang yang paling faqih di antara para ahli fikih, paling mengerti tentang atsar, dan paling faqih dalam pendapatnya. Sehingga, orang-orang pun berdatangan ke Madinah lalu mereka bertanya tentang orang yang paling pandai di antara para ulama Madinah dan paling faqih di antara para ahli fikihnya, maka orang-orang (penduduk Madinah) pun menunjukkan mereka kepada Sa’id bin Al-Musayyab untuk bertanya dan meminta fatwa kepadanya.

Sa’id bin Al-Musayyab pun memiliki kedudukan yang mulia di sisi Umar bin Abdul Aziz karena ilmu dan ketakwaan yang ia miliki, serta sehatnya pendapat, dan ijtihad seorang yang berilmu. Sampai-sampai Umar bin Abdul Aziz tidak akan memutuskan suatu hukum sebelum dia bertanya kepada Sa’id bin Al-Musayyab. Umar bin Abddul Aziz juga berkata tentangnya, “Di Madinah ini tidak ada seorang ulama pun kecuali

dia akan datang kepadaku dengan membawa ilmunya, dan aku telah diberi apa yang dimiliki oleh Sa’id bin Al-Musayyab.”

Pada suatu hari, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan seorang utusan kepada Sa’id bin Al-Musayyab untuk bertanya kepadanya mengenai suatu permasalahan fikih, maka Sa’id pun datang bersama utusan tersebut sehingga dia bertemu muka dengan Umar bin Abdul Aziz. Maka Umar pun berkata seraya tersenyum, “Utusan itu telah salah, wahai Sa’id. Sesungguhnya kami mengutusnya untuk bertanya kepadamu di majelismu.”

Demikianlah Umar bin Abdul Aziz memuliakan orang yang berilmu ini, dan senantiasa menyanjung ilmu dan fikihnya.

Derajat keilmuan ini bisa dimiliki oleh Sa’id bin Al-Musayyab karena ingatannya yang senantiasa terpelihara dan terjaga, dan yang tampak nyata di atasnya adalah kecerdasan yang jernih. Dia berkata kepada salah seorang sahabatnya, “Ayahmu pernah datang kepadaku pada masa kekhalifahan Muawiyah, lalu dia bertanya kepadaku tentang ini dan itu, maka aku pun berkata kepadanya begini dan begitu.” (Thabaqat Ibnu Saad)

‘Umran bin Abdullah Al-Khuza’i yang hidup se-zaman dengannya pun pernah berkata tentangnya, “Demi Allah, aku tidak pernah melihatnya sama sekali ketika ada sesuatu yang melewati telinganya, kecuali hatinya pasti dapat menangkap dan memahaminya.”

Demikianlah kesaksian orang-orang yang hidup se-zaman dengannya mengenai ingatan dan hafalannya, dan sungguh pada masanya itu ilmu hanya bergantung pada hafalan, tidak ada tulisan maupun buku yang dapat dibaca. Satu-satunya sumber ilmu hanyalah majelis-majelis ilmu dan melakukan perjalanan kepada para pemilik ilmu dan fikih, lalu memperoleh periwayatan dan ilmu mereka. Setelah itu tumbuhlah ra’yu, ijtihad, dan qiyas. Semuanya itu dikuatkan dengan ijma’, kecermatan periwayatan, dan kejujuran seorang rawi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement