Selasa 28 Feb 2023 05:35 WIB

Cara Masyarakat Hutan Hadapi Tantangan Zaman

Salah satu tantangan yakni masuknya perusahaan besar ke hutan yang dikelola warga.

Rep: Lintar Satria/ Red: Esthi Maharani
Foto udara sungai berkelok membelah hutan di Kabupaten Mimika, Papua, Senin (29/1).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Foto udara sungai berkelok membelah hutan di Kabupaten Mimika, Papua, Senin (29/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Papua dan Jambi yang tinggal dekat hutan menghadapi guncangan perubahan zaman. Mulai dari masuknya pendatang dan perusahaan besar, akses internet sampai fluktuasi harga komoditas.

Peneliti dari ITB, UI dan Universitas Cenderawasih meneliti kemampuan masyarakat yang menggantungkan kehidupan dan mata pencahariannya pada hutan dalam menghadapi berbagai tantangan.

Salah satu tantangan warga desa Aruswar, Sawesuma dan Soaib di Papua adalah masuknya perusahaan besar ke hutan yang dikelola warga. Pendamping desa dari WWF Indonesia Denys Alberto Wakum mengatakan perusahaan-perusahaan kayu yang memiliki konsensi di hutan tidak memenuhi sepenuhnya hak-hak warga desa.

"Ada kompensasi tapi tidak sebanding dengan apa yang mereka kerjakan," kata Denys di sela acara pembukaan Pameran Etnografi Visual Refleksi Keberhasilan dan Kegagalan Konservasi Berbasis Masyarakat di Jambi dan Papua, di Universitas Indonesia, Senin (28/2/2023).

Koordinator peneliti penelitian ini Angga Dwiartama mengatakan hal-hal di luar hutan juga mengancam dan mengguncang kehidupan warga desa. Seperti warga Desa Sungai Keradak yang komoditas utamanya kayu manis.

"Ketika harga kayu manis sempat jatuh, itu mereka beralih, kenaikan harga BBM terhadap produksi pertanian itu efeknya juga besar," katanya.

Sementara di Papua, kata Angga, permasalahannya sedikit berbeda. Selain perusahaan-perusahaan besar yang memiliki konsesi hutan, permasalahan warga adalah akses teknologi.

Angga mengatakan terdapat empat faktor yang menjadi kunci daya tahan atau resiliensi warga. Pertama dalam menghadapi tekanan harga, warga bisa mengubah moda ekonominya. Seperti warga desa Aruswar ketika harga kakao di pasar jatuh, mereka beralih ke tanaman lain.

"Ketika mereka masih dapat pindah dari satu bentuk ekonomi ke ekonomi lain itu menjadi salah satu cara mereka menghadapi tantangan," kata Angga.

"Di Jambi juga sama ketika harga karet jatuh, misalnya, mereka pindah ke kopi atau karet," tambahnya.

Kedua, lanjutnya, adalah kohesi sosial seperti gotong royong. Bagaimana bisa menjadi jaringan pengaman sosial. Ketika ada warga yang menghadapi kesulitan warga lain membantu.

Lalu yang ketiga, cara pandang warga tentang masa depan. Para warga yakin bisa suatu ketika mereka mengalami kesulitan mereka dapat kembali ke hutan.

 

"Sebagai rumah bagi mereka, tapi bukan investasi tapi tabungan. Kalau investasi harus dinilai kalau tabungan di situ sudah ada," katanya.

Terakhir, tambah Angga, warga memperlakukan alam dengan kasih sayang. Saat peneliti bertanya pada warga apa yang paling penting bagi mereka.

"Semua menjawab: anak, masa depan dan hutan. Jadi karena faktor penting itu, kasih sayang itu, membuat mereka dapat bertahan," kata Angga.

Angga mengatakan warga desa Aruswar, Sawesuma dan Soaib tidak resmi diakui sebagai masyarakat adat. Hutannya pun bukan adat karena untuk dianggap sebagai hutan adat masyarakatnya juga harus diakui negara sebagai masyarakat adat.

"Kalau di Jambi ada komunitas adatnya, tapi tidak sekuat Dayak Iban, ada institusi adatnya, ada tokoh adatnya, tokoh dan pemimpin adatnya cukup kuat tapi bukan masyarakat adat," tambahnya.

Dendy dari WWF mengatakan desa Sawesuma sudah diakui sebagai desa adat oleh pemerintah kabupaten. Sementara proses pengakuan untuk desa Aruswar masih dalam proses.

Sementara tokoh masyarakat Desa Sungai Keradak Niki Nikardo mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi warga desanya adalah pendatang dari luar desa.

"Ada pihak lain yang merambah hutan di desa kami," kata Niki.

Awalnya orang-orang itu, katanya, bekerja sebagai buruh kebun. Pertama mereka hanya satu orang tapi kemudian mengajak keluarganya. Lalu membuka lahan di hutan desa. Semakin lama orang-orang itu berkembang dan lahannya semakin luas.

"Lahan itu milik pribumi tapi dikuasai orang-orang non-pribumi," katanya.

Akhirnya masyarakat dan lembaga desa membuat peraturan yang melarang orang dari luar untuk merambah dan berkebun di hutan di sekitar Desa Sungai Keradak.

"Akan ada hukuman bagi orang yang merambah ke desa kami," katanya.

Niki mengatakan sebagian besar warga desanya bertani kayu manis dan kopi. Ia mengatakan untuk mengatasi fluktuasi harga kayu manis warga desa menstabilkan harga.

"Untuk harga sekarang anjlok, biasanya kami jual Rp 51.000 satu kilogram sekarang bisa dibeli pengumpul itu hanya Rp 35.000," katanya.

Warga desa memilih untuk mengolah kembali kayu manis. Sehingga tidak dijual mentah. Warga desa Sungai Keradak mengolah kayu manis menjadi obat diet. Sehingga warga dapat menjual harga kayu manis lebih tinggi.

Selain itu bila harga kayu manis manis jatuh, warga beralih menanam sayur-sayuran. Seperti kentang, kacang-kacangan, nilam dan lain-lain. Penanaman dilakukan tumpang sari di bawah kayu manis.

Dalam laporannya para peneliti menemukan pasar memiliki peran sosial yang krusial bagi masyarakat pedesaan Papua. Tidak hanya sebagai transaksi jual-beli, pasar juga wahana membangun ikatan sosial.

Gon, pasar barter yang dibuka tiga bulan sekali di Kabupaten Sarwi menjadi tempat yang mempertemukan warga desa Aruswar dengan kampung-kampung lain. Mereka menukar sembako dengan hasil laut. Di pedesaan Papua pasar bersifat lokal dengan rantai pasokan pendek.

Sementara rantai pasokan desa-desa Jambi yang bertumpu pada komoditas industri bersifat lebih panjang. Karet, kayu manis dan kopi dijual ke pengumpul atau tauke yang kemudian menjualnya ke bandar besar.

Densy dari WWF mengatakan sejak perusahaan besar masuk warga di desa-desa Papua banyak yang tidak lagi berkebun. Sebagian memilih membeli dari tukang sayur.

Selain tidak banyak lagi yang berkebun, tantangan yang dihadapi warga desa saat ini adalah akses pada teknologi terutama internet. Banyak anak yang memilih untuk bermain video game dibandingkan mendengarkan cerita dari tetua desa.

"Ada yang tidak mau sekolah, apalagi gurunya jarang masuk," kata Denys.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement