REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama saling berbeda pendapat tentang batal atau tidaknya menyentuh lawan jenis jika sudah berwudhu. Namun bagaimana hukumnya ketika menyentuh kemaluan, apakah wudhu juga menjadi batal?
Abdul Qadir Muhammad Manshur dalam kitab Panduan Shalat An-Nisaa menjelaskan, Saif bin Abdullah Al-Himyari menceritakan bahwa dia menjumpai Aisyah bersama beberapa orang laki-laki. Dan mereka bertanya tentang laki-laki yang mengusap kemaluannya. Sayyidah Aisyah pun meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Maa ubaaliy iyyahu masist aw anfiy,". Yang artinya, "Aku tidak peduli apabila menyentuhnya. Apakah aku harus membuangnya?". HR Abu Ya'la.
Arqam bin Syurahbil berkata, "Aku menggaruk tubuhku dalam shalat, hingga aku mencapai kemaluanku. Lalu aku menceritakan hal itu kepada Abdullah bin Mas'ud. Dia pun berkata kepadaku sambil tertawa, 'Potonglah ia! Ke mana kamu akan membuangnya dari dirimu? Ia tidak lain hanyalah sepotong daging pada tubuhmu,". HR Thabrani.
Tak hanya itu, Zaid bin Khalid Al-Juhani meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Man massa farjahu falyatawadho',". Yang artinya, "Siapa saja yang memegang kemaluannya maka hendaklah dia berwudhu,".
Dalam hal menyentuh kemaluan ketika memiliki wudhu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan, para ulama berselisih pendapat tentang menyentuh zakar (kemaluan). Mereka terbagi ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama mewajibkan wudhu karenanya, bagaimana pun bentuk penyentuhan. Ini adalah pendapat dari Imam Syafii dan para pengikutnya, yakni Imam Ahmad dan Imam Dawud. Sedangkan kelompok kedua sama sekali tidak mewajibkan wudhu karenanya. Masing-masing dari kedua kelompok ini memiliki pendahulu dari kalangan sahabat dan tabiin.
Adapun kelompok ketiga membedakan antara penyentuhan dengan kondisi tertentu dan penyentuhan dengan kondisi yang lain. Dan mereka terbagi ke dalam beberapa golongan. Ada yang membedakan antara penyentuhan yang disertai dengan kenikmatan dan penyentuhan yang tidak disertai dengan kenikmatan.
Mereka mewajibkan wudhu karena penyentuhan yang disertai dengan kenikmatan, dan tidak mewajibkannya karena penyentuhan yang tidak disertai dengan kenikmatan. Ada yang membedakan antara penyentuhan dengan bagian dalam telapak tangan dan penyentuhan bagian luar telapak tangan.
Kedua acuan tersebut diriwayatkan oleh para pengikut Imam Malik. Dan dijadikannya bagian dalam telapak tangan sebagai acuan adalah karena ia merupakan penyebab kenikmatan. Ada pula yang membedakan antara sengaja dan tidak sengaja. Mereka mewajibkan wudhu karena penyentuhan dengan sengaja dan tidak mewajibkannya karena penyentuhan tanpa sengaja.
Sekelompok ulama berpendapat bahwa berwudhu karena menyentuh zakar adalah sunnah dan bukan wajib. Abu Umar berkata, "Inilah yang benar dari pendapat Malik, menurut para pengikutnya di Maghrib. Riwayat darinya memang tidak jelas,".
Penyebab perbedaan pendapat mereka adalah adanya dua hadis yang saling berbenturan. Hadis pertama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Busrah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seorang dari kalian menyentuh zakarnya, maka hendaknya dia berwudhu,". Ini adalah hadis yang paling terkenal yang berbicara tentang kewajiban berwudhu karena menyentuh zakar.
Yahya bin Muin dan Imam Ahmad bin Hanbal menganggap shahih hadis ini, sementara penduduk Kufah menganggapnya dhaif. Hadis yang semakna dengannya juga diriwayatkan oleh Ummu Haibah dan dianggap shahih oleh Ahmad bn Hanbal, serta diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan dianggap shahih oleh Ibnu Sakan. Tetapi Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan satu pun dari hadis-hadis ini.
Hadis kedua yang menentang hadis pertama adalah hadis Thalq bin Ali. Dia berkata, "Kami datang kepada Rasulullah SAW ketika di sisi beliau ada seorang laki-laki yang tampaknya adalah orang Badui. Laki-laki itu berkata, 'Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang laki-laki yang menyentuh zakarnya setelah berwudhu?". Nabi pun bersabda, "Wa hal huwa illa bidh'atun minka,". Yang artinya, "Apakah ia lebih dari sekadar sepotong daging pada tubuhmu?".
Hadis tersebut dianggap shahih oleh banyak ahli ilmu, baik dari Kufah maupun ulama dari wilayah lainnya. Dijelaskan bahwa dalam menafisrkan hadis-hadis tadi, para ulama menganut salah satu dari dua metode. Yakni yang pertama, metode penimbangan (tarjih) atau penasakhan. Dan kedua, metode pengumpulan (al-jam).