REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Setidaknya terdapat dua hikmah yang bisa didapatkan umat Islam apabila menjalankan puasa. Pertama, adalah panen kebaikan ibadah, kedua adalah panen ekonomi ke arah yang lebih sehat.
Cecep Maskanul dalam buku Ekonomi Islam menjelaskan, puasa menyimpan banyak misteri kebaikan yang tanpa disadari ternyata dirasakan oleh umat Islam. Dalam aspek kesehatan saja, Nabi kerap menekankan hal itu: “Shumuu tashihuu,”. Yang artinya: “Berpuasalah kamu sekalian, niscaya kamu akan sehat,”.
Dalam dunia medis sudah lumrah diketahui mengenai keuntungan berpuasa bagi tubuh manusia. Dibuktikan bahwa perut yang kosong dalam beberapa jam tertentu nyatanya membantu metabolisme tubuh semakin baik, memberi relaksasi kepada organ tubuh untuk tidak selalu dipenuhi makanan.
Sedangkan dalam aspek ekonomi, puasa juga bisa membuat perekonomian menjadi lebih sehat. Mantan Presiden Indonesia BJ Habibie pernah disodori hitungan tentang apabila 200 juta lebih penduduk Indonesia secara sadar melakukan puasa Senin-Kamis sebagaimana yang rutin beliau lakukan, maka dalam sepekan bisa dihemat 100 ton beras. Yang artinya, Indonesia masih bisa menjaga suplai dan mencegah dari kebijakan beras impor.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), importasi beras Indonesia sepanjang 2020 sebanyak 356.286 ton secara kumulatif dengan nilai 195,4 juta dolar AS. Impor beras ini berasal dari Pakistan, Vietnam, Thailand, Myanmar, India, dan sejumlah negara lainnya. Bahkan dengan Thailand, sejak krisis 1997-1998 silam, Indonesia terus dihajar dengan importasi beras dari Negeri Gajah Putih itu dengan jumlah yang tak terbendung. Untuk itu, apabila Indonesia bisa menghemat cadangan berasnya, maka defisit neraca perdagangan pun bisa sedikit dibendung.
Itu pun, kata Cecep, dengan asumsi yang masih konservatif. Yakni orang hanya menahan diri dari seperempat kilogram per satu kali makan. Belum lagi dengan makanan lainnya. Menurut dia, ini baru potensi ekonomi yang kecil dari puasa yang tidak disadari oleh segelintir ekonom.
Namun demikian Cecep menjabarkan, berdasarkan angka statistik rata-rata ditemui bahwa permintaan barang pada bulan Ramadhan selalu meningkat dua sampai tiga kali dari biasanya. Peredaran uang (velocity) juga demikian. Para ekonom selalu mewanti-wanti akan tingginya inflasi dengan melonjaknya permintaan, dalam ekonomi disebut cost push inflation.
Namun anehnya, hal tersebut tidak terjadi. Keinginan orang untuk mendapatkan barang untuk lebaran justru menaikkan permintaan. Dibarengi dengan keinginan orang untuk mereguk keuntungan dengan cara memproduksi barang sebanyak-banyaknya. Ini berarti dapat meningkatkan suplai barang yang pada gilirannya akan menekan harga.
Jika suplai dan demand meningkat tanpa diiringi dengan kenaikan harga yang signifikan, itu artinya ekonomi bergerak ke arah yang positif. Di sinilah letak ‘irasionalnya’ berpuasa bagi perekonomian yang lebih sehat.
Belum lagi jika dijabarkan mengenai teori Irving Fisher, di mana satu jenis pecahan uang beredar telah melewati transaksi lebih dari lima kali, maka ia menciptakan nilai tambah lima kali dari nilai yang dibawanya. Asumsinya, velocity uang pada bulan puasa mendekati rasio satu, artinya pada saat itu, nilai uang yang beredar merupakan gambaran terhadap nilai transaksi riil, baik barang maupun jasa.
Semua ilmu, termasuk ekonomi, memang memiliki landasan rasionalnya, ini tidak bisa diganggu-gugat. Agama pun demikian, memiliki landasan rasional dan masuk akal yang bisa dijalankan oleh orang yang memiliki akal (tidak sah agama dijalankan dengan orang yang tidak berakal, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadis). Namun demikian jika seluruh aspek harus berlandaskan hal yang rasional, termasuk ekonomi, kemungkinan manusia tidak bisa hidup karena ia hanya melakukan hal dengan mengandalkan rasionya.