Namun apabila tidak mungkin dilakukan pembuktian terhadap kehamilan tersebut, maka disisakanlah suatu bagian tertentu untuk bayi yang masih dalam kandungan tadi. Bagian waris bagi bayi yang ditinggal mati ayah semasa dalam kandungan ini menuai perbedaan di kalangan beberapa madzhab ulama.
Madzhab Hanafi berpendapat, disisakan untuknya satu bagian sebesar bagian seorang anak laki-laki. Sebab lazimnya seorang anaklah yang dilahirkan, sedangkan lebih dari seorang masih merupakan praduga (atau si ibu belum mengetahui jenis kelamin si bayi dalam kandungan tersebut).
Al-Maridini misalnya, pernah menuturkan, terdapat seorang Muslim terkemuka yang bercerita kepadanya mengenai seorang Muslimah Yaman yang melahirkan sebuah gelembung (buntalan) yang diduga tidak berisi anak. Namun, begitu buntalan itu dilemparkan begitu saja, terdapat sesuatu yang bergerak-gerak di dalamnya dan membelah buntalan itu. Ternyata itulah tujuh bayi laki-laki di dalamnya.
Sedangkan dalam buku Al Mirats fi Al-Syari’ah Al Islamiyah karya Muhammad Musthafa dan Muhammad Sa’fan, pendapat para ulama dari madzhab Malik dan Syafi’i berpendapat, disisakan untuk bayi bagian warisnya. Bagiannya yaitu sebesar bagian empat orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan. Sebab dapat dimungkinkan adanya janin kembar di dalam kandungan si ibu.
Hal berbeda juga menjadi diskursus bagi para ulama. Mislanya, mengenai hukum waris bagi anak hasil lia’an (sumpah suami yang menuduh istrinya berzina) tersebut dengan ayahnya atau orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan anak tersebut melalui jalur ayah.