REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Islam mengajarkan berbagai kriteria orang-orang yang beruntung. Misalnya, mereka yang menyeru pada kebajikan sekaligus mencegah kemungkaran (amar makruf nahi mungkar), seperti disebut dalam surah Ali Imran ayat ke-104.
Contoh lainnya adalah golongan mukmin yang selalu menjaga shalat, dijelaskan dalam QS al-Hajj ayat ke-77.
Dalam bahasa Indonesia, nasib mujur diistilahkan sebagai langkah kanan. Umpamanya, seseorang yang mendapatkan rezeki tak terduga.
Berarti, dia telah melangkah kanan. Tentu saja, keberuntungan melibatkan banyak faktor. Minimal, diri telah berbuat walaupun hanya dengan melangkahkan kaki.
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW menegaskan perihal kemujuran. Beliau bersabda dalam riwayat ’Abdullah bin ’Amr bin al-’Ash RA, sebagai berikut:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ
”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rezeki yang cukup, dan qana’ah (merasa cukup) dengan rezeki tersebut.” (HR Ibnu Majah).
Ya, keimanan adalah perkara utama yang menjadi faktor keberuntungan, di dunia maupun akhirat kelak. Dalam surat Ali Imran ayat 102, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Maka dalam menjalani kehidupan, seorang mukmin hendaknya teguh mempertahankan iman dan Islam. Jangan sampai pernak-pernik duniawi justru menjauhkan diri dari komitmen berislam.
Dalam hadits yang sama, Rasulullah SAW juga menyatakan, orang Muslim yang telah dikaruniai rezeki yang cukup adalah beruntung.
Islam mengajarkan bahwa konsep rezeki tidak melulu berkaitan dengan materi. Bahkan, pemberian yang paling berharga dari Allah SWT justru kerap tidak tampak mata.
Nikmat paling besar adalah Islam dan iman. Tanpa keduanya, seluruh usia di dunia ini hanyalah sia-sia, khususnya begitu ajal menjelang. Maka, jadikanlah syukur sebagai jalan kehidupan. Dalam Ihya Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali mengatakan, hakikat syukur adalah menghayati bahwa hanya Allah SWT satu-satunya pemberi nikmat.
Dalam hadits di atas, yang dimaksud dengan qanaah adalah rela menerima apa-apa yang telah dikaruniakan. Qanaah dapat pula diartikan sebagai merasa cukup.
Karakteristik itu lahir dari kesadaran diri sebagai hamba Allah SWT. Seseorang yang qanaah meyakini bahwa Allah SWT telah menetapkan rezeki pada tiap-tiap makhluk-Nya. Maka, jangan khawatir. Tidak perlu pula dengki kala melihat kebahagiaan orang lain.
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS al-Isra ayat 30).