REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA–Antara Kota Yatsrib (Madinah) dan Makkah, ada sebuah lereng gunung hijau yang dikenal dengan Warqan dan ditempati sebuah kabilah bernama Muzainah. Melalui kabilah dan tempat ini, lahirlah seorang anak bernama Abdul Uzza bin Abd Naham Al Muzani, seorang yang lahir tidak jauh sebelum waktu kelahiran Nabi Umat Islam, Muhammad SAW.
Dikisahkan, ayah dan ibu Abdul Uzza tergolong sebagai orang miskin, sehingga hidup keluarga ini serba kesulitan. Kesulitan bertambah ketika ayah bocah ini meninggal dunia saat ia belum dapat berjalan. Jadilah dia, selain sebagai bocah fakir, ia pun kini menjadi anak yatim.
Namun kondisinya berubah saat paman dari Abdul Uzza datang untuk merawatnya. Pamannya adalah orang kaya yang belum juga mempunyai anak atau yang dapat mewarisi hartanya. Maka ia begitu senang dengan keponakannya ini, Abdul Uzza diperlakukan seolah dia adalah anaknya sendiri.
Bertahun-tahun kemudian, saat Abdul Uzza beranjak dewasa, ia tiba-tiba mendengar tentang seseorang yang mengaku Nabi sedang disambut oleh penduduk Yatsrib dengan suka cita. Informasi itu sangat membuatnya tertarik sehingga banyak mencari informasi tentangnya dari banyak tempat. Seringkali, ia hanya berdiam diri sepanjang hari di tengah jalan yang menuju Madinah agar dapat bertanya kepada orang yang menuju atau dari Madinah tentang agama baru dan para pengikutnya.
Setelah lama mencari informasi tentang Islam dan Nabi, Allah SWT membuka pintu hidayah-Nya kepada Abdul Uzza sehingga ia berikrar syahadat. Ini terjadi tanpa Abdul Uzza melihat Rasulullah SAW secara langsung dan mendengar sabdanya. Maka ia menjadi orang pertama dari gunung warqan yang masuk Islam.
Meski sudah masuk Islam, pemuda ini menyembunyikan keislamannya dari kaumnya secara umum dan secara khusus dani pamannya. Ia sering pergi ke sebuah sudut lereng yang jauh untuk beribadah kepada Allah agar tidak dilihat kaumnya.
Lama menyembunyikan keimanannya, maka ketika pemuda ini mendapati bahwa ia menanti cukup lama, ia mengambil keputusan tanpa berpikir apa yang bakal terjadi pada dirinya dan menghadap pamannya.
“Paman, aku sudah lama sekali menunggumu agar engkau masuk Islam hingga habis kesabaranku. Jika engkau berkenan masuk ke dalam Islam dan sehingga Allah menetapkan kebahagian bagimu maka itu amat baik jika engkau lakukan. Jika engkau tidak berkenan, maka zinkanlah aku untuk mengumumkan keislamanku di depan manusia,"ujarnya.
Begitu ucapan pemuda didengar di telinga pamannya, maka sang paman emosi dan berkata: “Aku bersumpah demi Lata dan Uzza, jika engkau masuk Islam maka aku akan mengambil semua yang ada di tanganmu yang pernah aku berikan. Dan aku akan membiarkanmu hidup miskin. Dan aku tidak akan perduli bila kau membutuhkan atau kelaparan,"tutur pamannya.
Namun ancaman ini tidak membuat pemuda yang beriman ini menjadi gentar. Dan ia tidak ragu dengan tekad yang sudah ditanamkan. Tapi pamannya masih mencoba berbagai cara dan meminta bantuan kaumnya untuk merayu Abdul Uzza yang ternyata tidak juga berhasil.
Maka serta merta pamannya mengambil kembali apa yang telah diberikan kepadanya. Dan ia tidak menyisakan apa-apa untuk pemuda ini selain pakaian yang menutupi auratnya saja.
Berangkatlah Abdul Uzza untuk bertemu langsung dengan Nabi dan kaum Muslimin. Begitu ia hampir tiba di Yatsrib, maka ia merobek bajunya sehingga menjadi dua bagian. Bagian pertama ia jadikan sebagai sarung dan satunya lagi ia jadikan pakaian. Kondisi yang membuat dirinya dijuluki Dzul Bijadain.
Dengan mantap, ia menuju masjid Rasulullah SAW dan menginap di sana pada malam itu. Begitu fajar sudah menjelang, ia berdiri dekat dari pintu kamar Nabi SAW. Ia mengawasi dengan kerinduan dan kecintaan munculnya Nabi dari kamar Beliau.
Begitu sholat telah selesai, Nabi sebagaimana biasa memperhatikan wajah-wajah orang yang hadir dan akhirnya Beliau melihat pemuda ini dan bertanya: “Dari suku mana engkau, wahai pemuda?” Maka pemuda tadi menyebutkan nasabnya. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Abdul Uzza (Hamba Uzza).” Rasul membalas: “Ganti dengan Abdullah (Hamba Allah)!,”
Kemudian Rasul mendekat ke arahnya dan bersabda: “Tinggallah di dekat kami, dan bergabunglah bersama para tamu kami!,”
Maka sejak saat itu, semua manusia memanggilnya dengan nama Abdullah. Dan para sahabat Rasul memberinya gelar dengan Dzul Bijadain setelah mereka melihat bijadaih (dua kain kasar).
Dzul Bijadain sangat bahagia saat menjadi orang yang tinggal di bawah asuhan Rasulullah dan senantiasa mengikuti seluruh majlis Beliau. Ia mencari akhirat dengan do'a yang selalu ia panjatkan dengan rasa takut dan khusyuk, sehingga para sahabat menamakannya sebagai Al Awwah (Orang yang sering merintih saat do'a karena takut kepada Allah).
Dia juga mencari akhirat dengan cara berjihad, sehingga tidak pernah terlewat dari satu pun peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Dalam perang Tabuk, Dzul Bijadain meminta Nabi agar berdo\'a untuknya agar ia diberikan syahadah (mati sebagai syahid). Namun Rasul justru mendoakan agar darah Dzul Bijadain terjaga dari pedang pasukan kafir.
Sangat ingin syahid, ia berkata kepada Rasul: “Demi ibu dan bapakku, ya Rasulullah. Bukan ini yang aku inginkan.” Maka bersabdalah Rasulullah SAW: “Jika engkau berangkat berjuang di jalan Allah, kemudian engkau sakit dan mati, maka engkau akan dicatat sebagai seorang syahid. Jika hewan kendaraanmu mengamuk dan engkau pun jatuh darinya sehingga engkau mati, maka engkau pun syahid karenanya."
Tidak lama eetelah percakapan tersebut, pemuda Dzul Bijadain terserang penyakit demam yang menyebabkan ia tewas. Para sahabat yang mulia lalu mengantarkan jasadnya ke kubur. Bahkan Rasul pun turun ke lubang untuk menguburkannya, lalu menempatkannya di dalam tanah dengan kedua tangan Beliau yang mulia.
Abdullah bin Mas'ud berdiri memperhatikan pemandangan semua ini. Ia berkata: “Andai saja aku yang menjadi penghuni lubang kubur ini. Demi Allah, aku ingin sekali seperti dia, padahal aku telah masuk Islam 15 tahun lebih dulu darinya.”