REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengasuh pesantren Tunas Ilmu Purbalingga sekaligus dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyyah Imam Syafi'i Jember, Ustaz Abdullah Zaen Lc.,MA mengungkapkan, amalan dalam ajaran Islam sangat bervariasi, sebab potensi manusia berbeda-beda. Ada yang memiliki potensi harta, tenaga, ilmu, jabatan dan lain-lain. Semua mendapatkan peluang untuk meraih surga dengan cara memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
"Namun beragam amalan tadi tentu tidak semuanya satu level. Justru bertingkat-tingkat levelnya. Jika boleh diumpamakan, Islam ibarat sebuah bangunan. Ada bagian-bagian pokok yang mutlak harus ada dalam sebuah bangunan, tanpa keberadaannya, bangunan tidak bisa berdiri, semisal pondasi dan tiang," kata Ustadz Abdullah dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.
"Ada pula bagian yang harus ada, namun bila tidak terpenuhi, bangunan itu tetap bisa berdiri, contohnya tembok dan atap. Serta ada elemen penyempurna yang ‘sekedar’ membuat bangunan itu semakin indah dan nyaman, semisal ventilasi udara dan keramik lantai," lanjut Ustadz.
Ustadz Abdullah mengatakan, bagian ajaran Islam yang paling tinggi adalah Rukun Iman dan Rukun Islam. Selanjutnya adalah amalan yang hukumnya fardhu ‘ain, seperti 'birrul walidain' dan belajar ilmu agama. Lalu amalan yang hukumnya fardhu kifayah, seperti berdakwah. Kemudian amalan yang hukumnya sunnah, contohnya membaca shalawat di luar shalat dan puasa Senin-Kamis.
Ustadz Abdullah menjelaskan, Islam adalah agama yang rapi, teratur dan tidak asal-asalan. Islam mengajarkan pada umatnya untuk senantiasa memperhatikan skala prioritas dalam beramal. Diumpamakan seperti membangun rumah, maka yang akan digarap pertama yakni pondasi, bukan atap, apalagi ventilasi udara.
"Muslim yang cerdas akan memprioritaskan perbaikan akidah terlebih dahulu, sebab itu adalah pondasi dalam beragama. Dia mempelajari Rukun Iman dengan benar. Lalu berikutnya ia mengamalkan Rukun Islam. Selanjutnya ia menjalankan amalan-amalan wajib lainnya. Baru kemudian ia menambahkan amalan yang sunnah," kata Ustadz Abdullah.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah ta’ala berfirman,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Taqarrub yang paling Aku cintai dari hamba-Ku adalah yang Aku wajibkan atasnya. Selanjutnya ia menambahkan yang sunnah, hingga Aku mencintainya”. HR. Bukhari (no. 6502).
"Jadi dalam beramal, kita tidak boleh pilah-pilih semaunya. Jangan sampai hawa nafsu mendikte kita dalam beramal. Yakni hanya menjalankan amalan-amalan yang kita sukai, karena pertimbangan gampang dan ringan, padahal itu bukan bagian pokok agama. Lalu meninggalkan amalan-amalan yang kita anggap berat dan sulit, padahal itu adalah bagian pokok agama," papar Ustadz Abdullah.
An-Nu’man bin Qauqal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, jika aku menunaikan shalat fardhu, meyakini yang haram adalah haram dan meninggalkannya, serta meyakini yang halal adalah halal, apakah aku akan masuk surga?” Beliau menjawab, “Iya”. HR. Muslim (no. 15).
"Yuk, beragama sesuai aturan agama, bukan sekedar beramal sesuai keinginan kita, apalagi didikte oleh hawa nafsu kita," kata Ustadz Abdullah.