Kepala Rabbi Yerusalem juga, sejak 1921, secara resmi melarang orang Yahudi memasuki Temple Mount. Dekrit menyatakan masuk ke situs dilarang kecuali "murni secara ritual", yang diyakini tidak mungkin dalam kondisi modern.
Menurut Rabbinate, Temple Mount adalah tempat Mahakudus, area di Bumi tempat hadirat Tuhan muncul. Karena itu, menginjakkan kaki di situs tersebut berisiko mengalami penodaan.
Menurut Pusat Urusan Publik Yerusalem, dalam pelarangan akses ke Temple Mount, para rabi kepala mengikuti pandangan Maimonides bahwa Shechinah (Kehadiran Ilahi) masih ada di lokasi Kuil. "Masuk ke sana dilarang dan dapat dihukum dengan kareth (kematian dengan keputusan surgawi), mengingat bahwa orang Yahudi berada dalam keadaan kenajisan ritual saat ini tanpa adanya lembu merah, yang abunya diperlukan untuk proses penyucian."
Mayoritas orang Yahudi Ortodoks menghormati larangan Rabbinate. Meskipun ada banyak pengecualian selama berabad-abad, sebagian besar ibadah Yahudi telah diisolasi ke Tembok Barat.
Namun, muncul penolakan atas larangan beribadah di Temple Mount pada 1967. Di tahun itu, Israel merebut Kota Tua Yerusalem dari Yordania, termasuk tempat-tempat suci, dan mendudukinya sejak saat itu. Namun, pengelolaan situs-situs Islam diberikan kepada otoritas Yordania. Sejak itulah, ada gerakan yang berkembang yang menyerukan agar orang Yahudi diizinkan beribadah di Temple Mount.
Secara resmi, otoritas Israel telah mempertahankan Status Quo. Meski gerakan Zionis selalu bernada religius, sebagian besar pemimpin Israel adalah sekuler jika tidak ingin dikatakan ateis. Dengan demikian, mencegah ledakan kemarahan di seluruh dunia Muslim umumnya menjadi prioritas yang lebih besar bagi para pemimpin politik Israel daripada upaya mengubah status Temple Mount.
