REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Islam, berutang diperbolehkan. Status, hukum, dan juga apa saja yang boleh diutangi diatur dalam syariat dan fikih.
Imam Syafii dalam kitab Al Umm menjelaskan, semua jenis pinjaman berstatus dijamin atau ditanggung (madhmun), baik itu berupa hewan tunggangan, budak, rumah, maupun kain. Tidak ada perbedaan apapun antara semua itu.
Siapa saja yang meminjam sesuatu, lalu sesuatu itu musnah (hilang, mati, dan sebagainya) di tangannya, baik itu terjadi disebabkan perbuatannya maupun disebabkan perbuatan orang lain, maka dialah yang harus menanggungnya.
Berbagai barang tidak mungkin lepas dari kemungkinan berstatus ditanggung atau tidak ditanggung. Adapun yang statusnya ditanggung adalah seperti pada kasus perampasan (ghasab) dan hal-hal lain yang seperti itu.
Adalah sama saja baik yang kebinasaannya tampak maupun tidak tampak. Semua itu menjadi tanggungan atas perampas dan mustaslaf, baik mereka berdua melakukan kejahatan maupun tidak tampak. Semua itu menjadi tanggungan atas perampas dan mustaslaf, baik mereka berdua melakukan kejahatan maupun tidak.
Sementara yang statusnya tidak ditanggung adalah seperti pada kasus titipan (wadiah). Adalah sama saja baik yang kebinasaannya tampak maupun tidak tampak. Adapun pernyataan yang dapat diterima adalah pernyataan mustauda (orang yang dititipi) dengan disertai sumpah darinya.
Tetapi ada sementara orang yang menyelisihi pendapat kami mengenai masalah pinjaman (ariyah). Orang itu berkata, "Dia (peminjam) tidak perlu menanggung apapun, kecuali apabila dia melakukan pelanggaran padanya (objek pinjaman).