Hal itu berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan, termasuk dalam hal berfilsafat. Tujuan berfilsafat adalah untuk mencapai kebenaran dan bertindak sesuai dengan kebenaran. Penjelasan ini didapatkannya dari Abu Ya'qub al-Kindi (801-873) dalam buku Fil Falsafah al-Ula.
Filsafat ini mewarnai kerja peradaban yang dicerahkan oleh kenabian dan kitab suci. "Filsafat Islam tumbuh dari wahyu dan kemudian berkembang dalam tradisi keilmuan, seperti fikih, tafsir, kalam, dan hadis," ujar pengkaji teori kausalitas Imam alGhazali (1058-1111) tersebut. Tradisi keilmuan itu juga melahirkan kajian filsafat hukum Islam, metafisika dalam teologi, dan sejenisnya.
Tak sembarangan, filsafat Islam lahir dari mekanisme ilmiah yang panjang. Ada banyak argumentasi berupa pembelaan dan pemilahan konsep yang dilakukan para ulama.
Dalam perkembangannya, tradisi filsafat Islam memengaruhi filsafat Yahudi, sebagaimana dijelaskan Shelomo Dov Goitein (1900-1985). Juga menjadi jembatan Barat mempelajari filsafat.
Hamid menjelaskan, filsuf Albertus Magnus (1193-1280) menggunakan argumentasi Abu Nasr al-Farabi (870-950) dan Ibnu Rusydi (1126-1198) tentang keberadaan Tuhan, yang kemudian dikuatkan oleh Thomas Aquinas (1225-1274).
Bagaimana dengan filsafat Barat, India, dan lainnya? Semua itu adalah hasil kerja pandangan hidup masingmasing. Yang harus ditekankan adalah tradisi ini tidak dibatasi oleh kawasan atau ras. Sebab, ini adalah kerja kreatif setiap peradaban berdasarkan pandangan hidup masing-masing.
Hamid mengutip pendapat MM Sharif dalam History of Muslim Philosophy bahwa tidak sepenuhnya Islam dipengaruhi Yunani.
Tidak benar bila dikatakan Yunani menghegemoni filsafat Islam. Sekali lagi, filsafat Islam adalah buah pandangan hidup Islam, tradisi keilmuan Islam, bukan salinan dan tempelan dari filsafat Yunani. Dengan kata lain, filsuf Muslim itu ada. Ini jawaban atas judul artikel Aljazeera di atas.
Namun, kerangka kerja semacam ini tidak banyak disorot dalam studi filsafat Islam, terlebih yang dilakukan peneliti Barat. Murid cendekiawan Muslim kelas dunia Syed Naquib alAttas (cucu Habib al-Qutb Abdullah bin Muhsin al-Attas, Empang Bogor) itu menjelaskan, umat Islam harus punya pendirian yang kuat, optimisme, dan percaya diri untuk menampilkan tradisinya sendiri.
"Sains Islam adalah hasil kerja kreatif ulama kita yang luar biasa. Kita harus lestarikan dan sebar luaskan, agar anak cucu kita tidak asing dengan tradisi dan kearifan ulama dahulu," ujar rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor tersebut.