REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu dari tiga amalan yang tak terputus dari manusia bahkan ketika ia sudah mati adalah ilmu yang bermanfaat. Ibnu Athaillah mendeskripsikan penjabaran tentang ilmu yang bermanfaat.
Dalam kitab Al Hikam, Ibnu Athaillah mengatakan, "Al-ilmu an-nafi'u huwalladzi yanbasithu fisshadri syua'uhu wa yankasyifu bihi anil-qalbi qinaa'uhu. Khairu ilmin maa kaanat al-khasyatu ma'ahu. Al ilmu in qaaranathu al-khasyatu falaka wa illa fa'alaika,".
Yang artinya, "Ilmu yang bermanfaat adalah sesuatu yang dapat membuat dada terasa begitu lapang dan dapat menyingkap tirai yang menyelimuti hati. Ilmu yang paling baik adalah yang ilmu itu disertai rasa takut pada-Nya. Jika ilmu disertai rasa takut pada-Nya, ia akan berguna bagimu, namun jika tidak ia hanya akan menjadi petaka bagimu,".
Menurut Ibnu Athaillah, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifat-Nya, asma-Nya, dan ilmu tata cara beribadah kepada-Nya dan bersopan santun di depan-Nya. Ilmu inilah yang cahayanya melapangkan dada sehingga mudah menerima Islam dan menyingkap tirai serta selaput penutup hati. Sehingga hilanglah segala macam angan dan keraguan darinya.
Mali Ibnu Anas berkata, "Ilmu diraih bukan dengan banyaknya periwayatan, melainkan ilmu adalah cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati,".
Adapun manfaat ilmu adalah mendekatkan hamba kepada Tuhannya dan menjauhkannya dari pandangan terhadap diri sendiri. Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba dan akhir dari keinginan dan pencariannya.
Al-Mahdawi berkata, "Ilmu yang berguna adalah ilmu tentang waktu, kejernihan hati, kezuhudan di dunia, dan ilmu tentang hal-hal yang mendekatkan diri ke surga. Menjauhkan diri dari neraka, ilmu yang membuat takut kepada Allah dan berharap dari-Nya, serta ilmu tentang kebersihan jiwa dan bahayanya.
Itulah ilmu yang dimaksud dengan cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya, bukan ilmu lisan, ilmu logika, ataupun ilmu manqul,".