REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedudukan manusia lebih tinggi dibandingkan makhluk Allah lainnya. Mengapa demikian?
Ibnu Athaillah dalam kitab Al-Hikam menjelaskan, dalam diri manusia terdapat hati yang menjadi sarana penampakan Illahi. Selain itu, manusia memiliki sifat lauh. Yakni menjadi tempat disimpannya ilmu; sifat qalam, yaitu bahwa ia mampu mengatur ilmu itu; sifat surga, yaitu jika akhlaknya baik maka semua temannya akan merasa nikmat dan nyaman saat bersama.
Kemudian manusia juga memiliki sifat neraka; yakni jika akhlaknya buruk, semua temannya akan ikut terbakar. Allah menjadikan manusia sedetail itu untuk memperkenalkan tingginya kedudukan manusia di antara para makhluk-Nya yang lain.
Semua makhluk itu diciptakan untuk manusia agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, menurut Ibnu Athaillah, manusia harus meninggikan tekad dari semuanya dan hanya sibuk dengan Allah SWT.
Mengenai hal ini, Ibnu Athaillah mengutip pandangan Al-Mursi, "Alam semesta (benda) semuanya adalah hamba yang diciptakan untukmu dan kau adalah hamba Allah,". Ini adalah makna pertengahan indrawi.
Adapun makna maknawi, Ibnu Athaillah mengisyaratkan dengan ucapannya, "Engkau adalah mutiara yang tersembunyi di antara ciptaan-ciptaan-Nya yang lain,". Atau dalam kata lain, manusia tersembunyi dan seolah tersimpan rapi di antara bentuk fisik ciptaan-Nya yang lain karena sifat-sifat semuanya ada di dalam dirinya.
Allah tidak menciptakan makhluk dengan sifat-sifat tersebut kecuali manusia. Oleh karena itu Allah SWT menciptakannya sesuai dengan sifat-sifat-Nya dan menjadikannya khalifah yang melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Allah memberi manusia dua arah; satu arah menuju Allah dan satu arah menuju makhluk.
Adapun malaikat dan makhluk lainnya yang tercipta dari ruh, mereka tidak memiliki kecuali satu arah saja, yakni menuju Allah. Maka semua sifat ini berlaku kepada setiap manusia. Namun sifat-sifat itu tidak akan tampak pada diri manusia kecuali setelah ia melakukan olah batin dan mujahadah.