REPUBLIKA.CO.ID, Mus’ab bin Umair berjalan di muka masjid mengenakan pakaian yang sarat tambalan. Di masjid, Rasulullah dan para sahabat melihat. Badan Mus’ab terlihat lebih kurus dibandingkan sebelumnya. Air mata Rasul menggenang di pelupuk matanya, membayangkan penderitaan yang dialami sahabatnya itu.
Rasul tahu persis kehidupan Mus’ab pada masa lalu. Ketika belum memeluk Islam, Mus’ab tinggal bersama orang tuanya dengan gelimang harta dan diselimuti kehidupan yang menyenangkan. Makanan dan minuman enak selalu tersaji dan hiasan mewah dengan harga selangit melekat pada tubuhnya.
Namun demi kebenaran Islam, Mus’ab rela menanggalkan itu semua. Menggapai cinta Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah merasakan kepapaan yang dirasakan sahabatnya. Beliau berempati. Menurut Sopian Muhammad dalam Manajemen Cinta Sang Nabi, bagi Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya seperti saudaranya sendiri.
Muhammad selalu dekat dengan mereka dan sangat peka sehingga memahami serta merasakan kondisi yang dialami para sahabatnya itu. Kesedihan segera menghambur ke dalam lubuk hatinya pada saat menyaksikan atau mendengar sahabatnya tertimpa musibah. Air matanya mudah sekali mengalir.
Pada sebuah kesempatan, Sa’ad bin Ubadah bertanya kepada Rasul yang menangis karena sejumlah sahabatnya meninggal dunia di medan jihad. Wahai Rasulullah, engkau menangis? Beliau menjawab, Ini adalah rasa kasih sayang yang Allah SWT letakkan di hati hamba-hamba-Nya.
Hamba-hamba yang dikasihi Allah, jelas dia, hanyalah mereka yang mempunyai rasa kasih sayang. Demikian kisah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari. Menilik hal ini, cendekiawan Muslim Ibnul Qayyim mengatakan, jiwa yang mulia tak rela terhadap kezaliman, kekejian, dan khianat.